Saturday, June 21, 2014

Review — LIKE FATHER, LIKE SON (Hirokazu Kore-eda, 2013)

LIKE FATHER, LIKE SON (Soshite Chichi ni Naru) | Amuse, Fuji Television Network, GAGA | 2013 | Drama | Japan | Japanese | 120 minutes | Cast: Masaharu Fukuyama, Yoko Maki, Jun Kunimura, Machiko Ono, Kirin Kiki, Isao Natsuyagi, Lily Franky, Jun Fubuki | Cinematography: Mikiya Takimoto | Music by: Shin Yasui | Screenplay: Hirokazu Kore-eda | Directed by: Hirokazu Kore-eda

For all parents out there, apakah anda pernah berandai-andai bahwa anak yang anda percayai sebagai darah daging anda serta telah anda besarkan selama ini ternyata bukan anak anda? Rasanya skenario tersebut terkesan hanya sebuah kisah fiktif yang biasa kita lihat di sinetron saja ya. Tetapi pada kenyataannya, kejadian tersebut sempat beberapa kali didokumentasikan telah terjadi di kehidupan nyata, dan kini menjadi basis kisah drama keluarga arahan Hirokazu Kore-eda bertajuk Like Father, Like Son, yang berhasil memenangkan Jury Prize dalam Cannes Film Festival tahun 2013 silam.

Ryota Nonomiya (Masaharu Fukuyama) adalah seorang pekerja sukses dan ambisius yang, walaupun terasa dingin dan distant, selalu menginginkan yang terbaik bagi anak satu-satunya, Keita (Keita Ninomiya) yang sudah berumur 6 tahun. Ryota selalu menekankan keambisiusannya lewat sekolah prestisius serta latihan bermain piano bagi Keita. Walaupun terkesan kurang begitu akrab, Ryota, bersama sang istri, Midori (Machiko Ono) serta Keita, nampak sebagai sebuah keluarga kecil yang cukup harmonis. Tetapi keharmonisan itu tiba-tiba harus dirusak ketika sebuah telepon dari rumah sakit dimana Keita dilahirkan menelepon dan mengabarkan bahwa Keita bukanlah anak keluarga Nonomiya. Akibat sesuatu hal, pada hari dimana Keita dilahirkan, terjadi pertukaran antara bayi, yang kini juga telah dibesarkan oleh keluarga lain. Adalah keluarga Yudai (Lily Franky) dan Yukari Saiki (Yoko Maki), orang tua kandung Keita, yang membesarkan Ryusei (Shogen Hwang), anak Ryota dan Midori yang sesungguhnya. Kedua keluarga tersebut kini harus menanggung sebuah dilema besar untuk menghadapi masalah tersebut. Which child would you keep? Your own blood? Or the one you've been raising all these years?

Selain masalah jarak antara kedua keluarga (rumah sakitnya terletak di kampung halaman Midori) yang cukup membuat sulit untuk sering berdiskusi, kedua keluarga juga terlihat begitu berbeda dalam status sosial dan ekonomi. Keluarga Nonomiya tinggal di sebuah apartemen high-class di tengah hiruk pikuk Tokyo, sedangkan keluarga Saiki tinggal disebuah ruko kecil yang tampaknya tidak begitu memberikan penghasilan yang besar. Tetapi keluarga Saiki terlihat lebih akrab dan hangat satu sama lain, jika dibandingkan dengan keluarga Nonomiya yang terkesan terlalu adem ayem. Ditambah lagi dengan prinsip hidup Yudai Saiki yang lebih santai dan seolah tidak memiliki visi yang jelas terhadap kehidupannya. Tetapi walaupun status sosial dan ekonomi kedua keluarga yang ditampilkan sangat bertolak belakang mungkin terkesan klise, but they stop there. Ryota memang nampak sebagai seorang ayah yang absen, tetapi masih terlihat bahwa dirinya sangat concern dengan well-being sang anak. Yudai boleh saja memberikan kasih sayang yang besar bagi anak-anaknya, tetapi dengan prinsip hidup santai itu apakah dapat menjamin masa depan? Kedua belah pihak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, membuat mencari jalan keluar yang terbaik bagi masalah ini pun lebih sulit. Tetapi dengan situasi seperti ini, mengharapkan 'solusi yang terbaik' pun rasanya terlalu naif.

Walaupun dilema yang dialami dua keluarga tersebut menjadi dasar film ini, Kore-eda juga memfokuskan lebih terhadap karakter Ryota Nonomiya. Bagaimana seorang pekerja yang sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya ini harus mereevaluasi apa yang ia tahu tentang menjadi seorang orang tua. Then again, translate kasar judul Jepang film ini pun sebenarnya 'And then I become Father'. Ryota mungkin selalu berfikir bahwa strata sosial dan ekonomi adalah fondasi yang penting bagi keluarga dan keturunannya. Itu bukan lah pemikiran yang buruk, tetapi jelas bukan yang utama. Sempat Ryota menawarkan untuk menanggung kedua anak, Keita dan Ryusei, dengan anggapan bahwa dirinya memiliki materi yang lebih dari cukup untuk itu. Sebuah gesture yang terang-terangan ditolak oleh keluarga Saiki. Kore-eda juga sedikit menggali tentang keluarga Ryota. Dibesarkan oleh ibu tiri serta dorongan dari ayahnya tentang betapa pentingnya sebuah blood line, cukup memberikan urge bagi Ryota untuk menukarkan Keita dan Ryusei, sebelum semakin attached dengan keluarga masing-masing. Ketika ia mengetahui bahwa Keita bukan darah dagingnya pun, ia merasa tak heran lagi jika Keita tidak memiliki sifat ambisius seperti dirinya. Tetapi lambat laun Ryota pun menyadari, bahwa sebuah hubungan antara orang tua dan anak bukan lah one-way street semata, melainkan 'kerja sama' antara keduanya.

Memang sebagai kedua pasang orang tua jelas berat ketika harus memilih dengan keadaan seperti ini, tetapi jika dilihat lagi, Keita dan Ryusei mungkin lebih berat menanggung masalah itu. Tak hanya harus meninggalkan kehidupan yang telah dirasa nyaman dan harus tinggal bersama 'orang asing', tetapi mereka juga diharuskan memutus komunikasi dengan orang-orang yang telah mereka anggap ayah dan ibu. Lebih berat lagi, karena sebagai anak, tak pernah ada yang menanyakan pendapat mereka yang sesungguhnya. Belum lagi dengan latar belakang masyarakat yang condong ke arah patriarchal, peran istri jadi sedikit lebih tenggelam dibanding sang kepala keluarga. Dalam menulis film ini, rasanya Kore-eda tidak pernah menghakimi setiap karakter dan keputusan-keputusan yang mereka ambil. It *is* an unusual and unfortunate situation, dan Kore-eda berhasil menyajikan tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya. Yes, they are flawed characters. Tetapi dibalik kekurangan, they are close to being real humans in real situations. Yes, they made daring and questionable decisions. Tetapi kita bisa mengerti mengapa mereka memutuskan hal-hal tersebut. 

Like Father, Like Son bagi saya menjadi salah satu bukti bahwa Kore-eda mampu mengubah ide cerita yang terkesan terlalu klise menjadi sebuah film yang sweet, simple and meaningful. It might be too slow and predictable for some people, tetapi dengan direksi yang tender dari Kore-eda, film ini terasa begitu mesmerizing. Tak heran Steven Spielberg tergoda untuk membuat remake Hollywood-nya. Tak hanya tentang dilema 'anakku bukan anakku' saja, tetapi film ini juga menjadi sebuah potret transformasi seorang pria menjadi seorang kepala keluarga dan kemudian bagaimana ia menjadi seorang ayah. Film ini mengangkat sebuah isu yang complicated dengan point of view yang lebih humanis tanpa melodrama yang berlebihan. Plus singgungan nature versus nurture dalam membesarkan anak lewat gambaran perbedaan status sosial dan ekonomi keluarga di Jepang. Dihiasi dengan penampilan yang cemerlang dari para aktor dan aktris, tak terkecuali aktor-aktor ciliknya (Kore-eda's infamous strength), alunan musik yang lembut serta gambar-gambar yang indah membuat Like Father, Like Son menjadi sajian yang begitu menawan.

/

3 comments:

  1. There you are! A new look, eh? (Btw itu frame kirinya bisa ga ikut ke-scroll gitu gimana riz? :P)

    Already have this film on my disk, gonna watch it soon. And Spielberg's interested in making the remake? Didn't see it coming! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha hi, bar! Long time no see :) Actually from the very first time I knew this film is in the lineup of Cannes, I'm 100% sure Spielberg, the head jury, will give this film one of the prizes. Spielberg looooves fatherhood stories so no wonder he even wanted to make a remake out of it haha

      *yang kiri itu sebenernya header bar, trus tinggal mainin di css nya tambahin position: fixed hehe

      Delete
  2. Yay welcome back :D Anyway, beberapa hari setelah baca ini langsung nonton filmnya dan... duh bagus banget ya :') Kalo aku pribadi sih bakal ngasih A hehe.

    ReplyDelete