FURY (2014) | Le Grisbi Productions, QED International, LStar Capital, Crave Films | Action, Drama, War | United States, United Kingdom | English | 134 minutes | Cast: Brad Pitt, Shia LaBeouf, Logan Lerman, Michael Peña, Jon Bernthal, Jason Isaacs, Scott Eastwood | Edited by: Dody Dorn | Cinematography: Roman Vasyanov | Music by: Steven Price | Written & Directed by: David Ayer
"Wait until you see it." | "See what?" | "What a man can do to another man."
Melihat manusia saling membunuh satu sama lain? Menjadi saksi brutalnya para tentara Perang Dunia dalam membunuh musuh-musuhnya? Melihat bagaimana gelapnya kehidupan perang? Atau menonton Brad Pitt melawan tentara Nazi? Well in fact, we've seen it all before. FURY, film perang arahan David Ayer (Street Kings, End of Watch) secara garis besar memang tidak menawarkan sesuatu hal yang baru. Tetapi apakah hal tersebut membuat FURY film yang buruk? That depends. FURY mengacu pada sebuah nama tank perang yang sedang bertugas di Jerman di ujung Perang Dunia II. Tank tersebut digawangi oleh Staff Sergeant Don 'Wardaddy' Collier (Brad Pitt) beserta para krunya Boyd 'Bible' Swan (Shia LaBeouf), Grady 'Coon-Ass' Travis (Jon Bernthal), dan Trini 'Gordo' Garcia (Michael Peña). Berbulan-bulan bersama, dan tentunya sudah cukup makan garam dengan pengalaman berperang mereka, sekelompok prajurit ini awalnya agak skeptis dengan Norman Ellison (Logan Lerman), tentara baru yang bertugas menggantikan posisi asisten pengemudi tank mereka tersebut. Heck, Norman bahkan belum pernah melihat isi dari sebuah tank sebelumnya. But job's a job, dan mereka mau tidak mau harus tetap mengemban tugas mereka sampai perang berakhir.
Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, selama 2 jam durasinya, Ayer selaku penulis dan sutradara, rasanya telah menampilkan hampir seluruh hal-hal familiar yang sudah pernah kita lihat di film-film sejenis. The intensity, brutality, loss of innocence, purpose of war, moral questions of right and wrong; you name it. Tidak ada yang spesial pula dalam alur ceritanya. Dan sepertinya Ayer pun menyadari hal tersebut, karena keputusannya untuk lebih menonjolkan atmosfir neraka di Perang Dunia II tersebut terealisasikan dengan baik. Ayer pun tidak malu-malu dalam menampilkan tumpahan darah, tembakan, ledakan hingga potongan tubuh manusia ke dalam layar. Sekuens aksinya juga di-set dengan sangat rapi dan menegangkan. The editing, cinematography, effects and score worked really well. Walaupun peluru-peluru tank-nya terlihat seperti lightsaber (haha or that's the way they're supposed to look like in real lif? I dont know). I really love the way the pacing really grips and keeps you at the edge of your seat. Hal tersebut membuat 2 jam film ini terasa begitu cepat (sans 1 scene, but we'll get to that later).
Satu hal yang rasanya membuat film ini jadi kurang memorable adalah penggambaran karakternya tidak begitu digali lebih dalam. Dan ketika ingin ditampilkan sisi humanis nya entah mengapa terasa begitu tidak pas porsinya. The bullets-fyling, tank-crushing flavors of a film got really dragged the second it wanted to touch a dramatic side of its characters. And it went on, like forever. Sisi heroisme yang dibangga-banggakan di film-film Amerika memang masih memegang kendali dalam film ini, tetapi saya suka dengan sedikit nod di penghujung film dimana Ayer ingin membuktikan bahwa masih ada 'musuh' yang belum kehilangan sisi kemanusiannya. Bagaimana karakter-karakter di dalamnya ingin diperlihatkan sebagai sebuah ikatan keluarga yang luar biasa erat juga terasa terlalu dipaksakan. Kalau membandingkan dengan rasa brotherhood dalam film Ayer sebelumnya, End of Watch, hubungan antara karakter-karakter dalam FURY tidak terlalu meyakinkan. Though I have to admit, ensemble cast film ini sudah berhasil memberikan performa yang baik. Props untuk Michael Pena yang sayangnya tidak begitu diberikan porsi yang besar bagi karakternya yang cukup mencuri perhatian serta Logan Lerman yang lagi-lagi menunjukkan bahwa ia adalah bintang muda yang menjanjikan.
Pada akhirnya, FURY memang tidak akan begitu bicara banyak dalam retrospektif film perang; it's not the most original or emotional of all war films. It's a same old story with a slightly different platform. But hell, it was rip-roaring. Dengan cerita dan karakter yang termasuk klise, David Ayer cukup berhasil menutup kelemahan film ini dengan adegan-adegan aksi yang cukup seru. Memang bukan film yang exceptional, tetapi bagi saya 2 jam menyaksikan film ini menjadi sebuah 'hiburan' tersendiri.
Sama, aku juga mikir tentang tembakan-tembakan yang kayak light saber.. tapi katanya emang beneran pake ada laser untuk tracking tembakan..
ReplyDeleteRaz, bikin review Interstellar please :)
ReplyDeleteSip ntar gw berkujung, ham :)
ReplyDelete