Friday, June 7, 2013

REVIEW: The Act of Killing (2012)

Memori saya memang agak samar-samar, tetapi saya agak mengingat dulu duduk manis di depan TV menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Umur saya 6 tahun ketika reformasi meledak, yang setelah kerusuhan besar-besaran berhasil menurunkan presiden Soeharto setelah 30 tahun lebih memimpin Indonesia. Salah satu 'signature' zaman Orde Baru memang adalah kewajiban untuk semua stasiun TV memutar film tersebut setiap tahunnya, untuk memperingati salah satu peristiwa berserajah (dan berdarah) tersebut, serta menjadi propaganda untuk mendoktrin masyarakat bahwa PKI dan komunis adalah dalang dari tragedi tersebut sekaligus musuh negara yang kejam dan berdarah dingin.

Peristiwa tersebut tidak hanya menjadi awal periode kekuasaan Soeharto, tetapi juga menjadi pencetus beberapa pembunuhan massal yang terjadi di beberapa lokasi di Indonesia, yang semua dilakukan atas dasar perlawanan terhadap komunis dan PKI. Salah satunya terjadi di Medan, Sumatera Utara. Dari sejumlah oknum-oknum dibalik pembantaian komunis tersebut (entah yang benar komunis, atau yang cuman dicurigai saja), salah satunya adalah Anwar Congo. Anwar Congo dahulu dikenal sebagai preman yang disegani oleh semua kalangan. Ia menghabiskan setiap malam menjadi tukang catut karcis cabutan di sebuah bioskop di Medan. Selain reputasinya sebagai seorang preman, Anwar juga dikenal sebagai salah satu 'pentolan' dalam membantai para komunis tahun 1965 silam. Seorang filmmaker Amerika yang menetap di London, Joshua Oppenheimer, berniat untuk mendokumentasikan kehidupan Anwar serta rekoleksinya terhadap aktivitas yang ia lakukan dahulu. Ia pun meminta Anwar dan beberapa temannya untuk bercerita tentang pengalaman mereka tersebut, bahkan menawarkan mereka untuk membuatnya menjadi sebuah film dengan style dan genre yang sesuai dengan keinginan mereka. Dengan dalih membuat film adaptasi kisah nyata, lahirlah The Act of Killing, atau Jagal dalam judul bahasa Indonesia-nya, yang menangkap para pelaku pembunuhan masal ini menikmati statusnya sebagai pahlawan dan preman secara bebas. 

Menyaksikan film ini memberikan sebuah perasaan yang campur aduk. Pertama, jelas kaget dan miris bagaimana Anwar & co bisa dengan begitu kasual dan terlihat tak berdosa menceritakan pengalaman mereka beroperasi disini. Bagaimana Anwar membawa para korban ke sebuah  atap gedung yang terlantar, bagaimana mereka disiksa disitu, bahkan ia memberikan tips efektif untuk membunuh tanpa harus memuncratkan darah kemana-mana. Tak hanya itu, dalam sebuah obrolan ringan beberapa anteknya berbicara mengenai 'asiknya' membakar seluruh desa, melakukan pelecehan seksual hingga pemerkosaan terhadap korban dibawah umur. Lucunya (?), mereka menceritakan kisah-kisah tersebut bagai sebuah anekdot kepahlawanan yang membanggakan, tak jarang pula yang berujung dengan tawa. Bahkan dalam satu adegan, Anwar meminta cucu-nya untuk melihat bagaimana sang kakek dulu beraksi. Beberapa lokasi shooting yang mereka pakai pun juga seakan menjadi sebuah event tersendiri untuk para keluarga dan tetangga dapat menonton. Dalam membuat 'film adaptasi' tersebut, tak sedikit inspirasi yang mereka ambil dari film-film Hollywood. Mengingat bahwa Anwar dkk adalah mantan tukang karcis bioskop, mereka sangat menggemari film-film gangster dari Barat tersebut. Bahkan salah satu alasan yang mereka buat untuk membenci komunis adalah bahwa PKI melarang impornya film-film Amerika ke Medan pada saat itu. Anwar sendiri menyatakan bahwa film-film mafia tersebut yang mengajarkannya untuk membunuh.

Kita tidak hanya dicekoki dengan curhatan para tukang jagal, tetapi dari pemimpin organisasi paramiliter hingga petinggi percetakan koran yang dahulu juga ikut menambahkan api kebencian masyarakat kepada kaum komunis lewat tulisan-tulisan yang sengaja di-exaggerate. Bertahun-tahun lewat, nyatanya aksi yang mereka lakukan tidak pernah dibawa ke pengadilan. Bahkan salah satu dari mereka malah menantang PBB untuk mengadili mereka. Premanisme yang dahulu sudah berkuasa juga ternyata masih terjadi di kota tersebut. Dapat dilihat dari aksi palak yang terang-terangan dilakukan kepada pemiliki toko beretnis Cina disana, serta selipan aksi korupsi yang dilakukan oleh para politisi. Oppenheimer sendiri mengatakan bahwa niat awalnya adalah untuk membuat film tentang testimoni para keluarga korban pembantaian, tetapi desakan dari pihak authority disana lah yang merubah fokus Oppenheimer terhadap preman-preman yang berkuasa disana. 'Preman' secara kasar disadur dari 'free man', orang bebas. Kata-kata tersebut entah mengapa berulang kali diucapkan oleh beberapa tokoh dalam film ini, tak terkecuali 'penampilan' khusus dari mantan RI-2, Jusuf Kalla. Pada akhirnya anggapan tersebut menjadi salah satu justifikasi yang mereka gunakan pula tentang bagaimana mereka dahulu, pemuda-pemuda, hanyalah ingin menjadi orang-orang yang bebas. Entah bebas dari segala macam hukum, dan aturan serta melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan.

Tapi saya pun berfikir lagi. Apa yang mereka lakukan adalah semerta-merta sebuah perintah dari atasan mereka. Mereka di-doktrin untuk menumpas habis anggota komunis atau orang-orang yang berhubungan dengan komunis. Mungkin hal ini dapat menjadi salah satu alasan juga untuk menjustifikasi aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka menyesal melakukan hal-hal tersebut. Apakah, at the very least, mereka sadar apa yang mereka perbuat, terlepas dari perintah atau tidak, adalah sebuah kejahatan? Setelah sepanjang film kita menyaksikan bagaimana para tukang jagal ini bercerita dengan bangganya, terselip pula beberapa curhat-colongan di dalam obrolan mereka. Setelah dilanda mimpi buruk beberapa malam terakhir, Anwar Congo pun akhirnya mulai agak sadar atas apa yang ia perbuat, setelah ia sendiri berperan sebagai salah satu korban yang hendak dihabisi. Mungkin beberapa dari para jagal tersebut bisa saja mencari alasan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa bersalah mereka. Tetapi pada akhirnya pun mereka akan sadar ketika aktor amatiran anak kecil yang tak bisa berhenti menangis atau seorang ibu yang tiba-tiba pingsan setelah memerankan korban pembantaian hanyalah sebuah reka ulang. Apa yang mereka lakukan bertahun-tahun yang lalu bukanlah rekayasa dan jelas jauh lebih kejam.

Sebelum saya menonton film ini, mengingat bagaimana film G30S/PKI berubah menjadi film propaganda, membuat saya curiga bagaimana jika Joshua Oppenheimer akan merubah The Act of Killing menjadi hal yang serupa. Dengan durasi hampir mencapai 2 jam (sudah di-cut, sebelumnya 2 setengah jam), The Act of Killing bagi saya benar-benar menjadi sebuah eye-opener yang mencengangkan. Semua yang dipaparkan disini datang langsung dari mulut para pelaku. Apakah semua cerita tersebut fakta, hanya mereka yang tahu. Oppenheimer hanya menyediakan media dimana mereka dapat menceritakan kembali, dengan kebanggan, hal-hal apa yang mereka lakukan atas dasar nasionalime atau sekedar inner premanisme. Oppenheimer memiliki banyak isu yang hal yang bisa di-tackle disini (humanism, justice, corruption, moral, bahkan effect of movie brutality, etc), walaupun terlihat agak kewalahan dan agak scattered di beberapa bagian, tetapi hasil akhirnya sudah cukup merangkum beberapa isu yang poignant. Provocative and unsettling, The Act of Killing adalah sebuah dirty revelation yang akan menjadi tamparan bagi negri ini.
________________________________________________________________________________

The Act of Killing (Jagal - 2012) | Norway, Denmark, UK | 115 minutes | Documentary | Cast: Anwar Congo, Adi Zulkadry, Ibrahim Sinik, Safit Pardede, Herman Koto | Directed by: Joshua Oppenheimer

16 comments:

  1. Replies
    1. Download, Syid :p kmrn sutradaranya ngebolehin donlot kok wkwk di torrent udah ada

      Delete
  2. Sutradaranya ngebolehin download??? wah baik bgt. Okeh siap meluncur ke torretz ;)
    eh tapi sehat ga torrentznya?

    Andini pernah ngereview ini dan kdgrannya menarik bgt. Kamu reviewnya lbh mendetail dr dia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dia malah seneng kalo ada yg ngebajak disini, soalnya goal dia emang supaya film ini ditonton seluruh masy. Indonesia (rada gak mungkin tayang disini jg soalnya) hehe

      Delete
  3. This looks very intriguing to me as I grew up being brainwashed about PKI, as most people were in the 80s and early 90s. I hope this would be available on Netflix or iTunes soon. But how violent is this? I know it's a re-enactment but it looks quite terrifying from the trailer! Thanks Fariz.

    ReplyDelete
    Replies
    1. It's not really that violent, IMO. It's more emotionally disturbing, if I may say so. Most of the movie-making scenes were actually kinda corny and too dramatic and theatrical (but it's intentional I suppose).

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. kk... kasih link downloadnya sklian kk..
    makasih

    ReplyDelete
  6. Sila download The Act of Killing/Jagal di http://thepiratebay.sx/torrent/8518979 (1.5 GB) dan yang kecilan, tapi kualitas gambar tak sebagus yang satunya http://thepiratebay.sx/torrent/8519042 (700 MB).

    Bagi mereka yang kesulitan mengunduh film ini dipersilakan menghubungi publisis film di email anonymous@final-cut.dk untuk mengatur pemutaran di komunitasnya dan mendapatkan DVD-nya.

    ReplyDelete
  7. kira2 tayang di bioskop indonesia nggak, min?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sangat kecil kemungkinannya, nyaris gak mungkin sih hehe

      Delete
  8. First of all, you should know that there is a
    difference between noise isolating and noise cancelling headphones.

    This model has received rave reviews on comfort as well as
    sound quality. It should not be mistaken that since the ear cups are
    small and it is portable the quality of sounds it can render
    would reduce.

    ReplyDelete
  9. segera bergabung dan bermain di situs resmi permainan kartu Online terpercaya dan terlengkap di Indonesia MURAHQQ dan dapatkan keuntungan berlipat ganda ratusan juta setiap hari

    ReplyDelete