Setelah hadir lewat sajian intim sekaligus heartbreaking dalam Blue Valentine (2010), Derek Cianfrance kembali bekerja sama dengan aktor Ryan Gosling untuk menyajikan film teranyarnya, The Place Beyond the Pines. Film yang pertama kali ditayangkan dalam Toronto Film Festival tahun lalu ini jika dibandingkan dengan filmnya sebelumnya mungkin nampak lebih luas scale-nya. Baik dalam cerita, karakter, tempat, bahkan setting waktu. Film ini terbagi menjadi tiga buah babak yang memilki fokus karakter yang berbeda tetapi tetap memiliki benang merah satu sama lain.
Di babak pertama dalam film ini, Ryan Gosling seakan membawakan kembali peran yang mirip dalam film Drive (2011) dua tahun lalu; dalam wujud karakter Luke, seorang motorcyle stunt yang tergabung dalam karnaval keliling. Hidupnya (or at least his thoughts) berubah setelah Romina (Eva Mendes), mantan pacarnya setahun yang lalu ternyata telah memiliki anak hasil hubungan mereka berdua. Walaupun Romina tidak menuntut Luke untuk bertanggung jawab, tetapi Luke merasa dirinya berkewajiban untuk mengurus anak mereka tersebut, Jason. 'Beruntung' ketika ia tidak sengaja bertemu dengan Robin (Ben Mendehlson) dan memulai 'bisnis' mereka sebagai perampok bank. Takdir membawanya bertemu dengan Avery Cross (Bradley Cooper), seorang polisi 'low rank' yang akibat aksi spontannya membuat dirinya menjadi pahlawan dadakan dalam kota kecil tersebut. Seketika itu, film ini mulai memasuki babak kedua dimana fokus akan beralih ke Avery dan dilema moral yang ia hadapi setelah interaksinya dengan Luke serta ditambah lagi dengan praktik bisnis gelap yang terjadi di departemennya. Film ini kemudian diakhiri dengan cerita ketiga yang di-set 15 tahun kemudian, dimana Jason, anak Luke-Romina, telah beranjak dewasa (diperankan oleh Dane DeHaan) yang tak disengaja pula berteman dengan AJ (Emory Cohen), anak dari Avery.
Secara keseluruhan ketiga cerita ini digabungkan dengan motif takdir dan konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukan oleh masing-masing karakter. Bagaimana setiap aksi dan keputusan tersebut ternyata masih bisa memberikan imbas hingga bertahun-tahun kemudian. Tak hanya itu, di setiap cerita, secara langsung dan tidak langsung, juga berpusat dalam masalah ayah-anak. Luke yang melakukan segala cara untuk anaknya, Avery yang selalu dipojokkan oleh sang ayah terhadap profesinya, serta Jason yang tidak pernah mengenal ayahnya sedangkan AJ selalu merasa diasingkan. Tetapi bagi saya, kekuatan benang merah dalam film ini ada pada tema redemption. Luke, setelah merasa ia telah menyia-nyiakan anaknya, terpaksa menjadi perampok bank untuk sang anak. Walaupun tujuannya mulia, tetapi memang cara pencapaiannya sangat tidak ideal. Ambiguitas pahlawan/penjahat juga terjadi dalam hidup Avery setelah ia merasa bahwa apa yang ia lakukan terhadap Luke bukanlah citra polisi yang baik, menggoyahkan imannya serta moralnya tentang pilihan karir yang selama ini ia bela. Belum lagi dengan aksi korupsi yang ternyata sering dilakoni oleh rekan-rekannya sesama polisi, membuat Avery merasa harus melakukan sesuatu, yang sekiranya juga dapat memberikan sebuah salvation dan justifikasi terhadap kesalahan yang ia perbuat. They all want to be a better person. A better father, a better son. Mungkin ada yang memakai cara yang salah atau ada yang harus mengorbankan moral, tetapi pada akhirnya masa lalu adalah masa lalu. Who we were or who our father was yesterday, is not who we are today.
Dengan durasi mencapai 2 jam 20 menit ini, film ini mungkin terasa sedikit ambisius. Memang tidak ada salahnya bagi Cianfrance untuk membuat tiga cerita berbeda dengan maksud memberikan benang merah satu sama lain. Tetapi pasti ada saja kerugiannya. Setelah 'asik' mengikuti perjalanan Luke menghidupi sang anak dan hampir mencapai puncak ketegangan, tiba-tiba saja terjadi story and character shift. Twist seperti ini sedikit mengingatkan saya dengan twist yang hadir dalam (Spoiler!) Psycho milih Alfred Hitchcock. Untungnya saja kedua segmen memiliki cerita yang sama-sama kuat. Tetapi ketika pindah ke cerita yang ketiga, saya rasa agak terlalu memaksa. Jika mereka berhenti di babak kedua mungkin masih reasonable, membuat babak ketiga jadi terlalu dibuat-buat. Di beberapa bagian juga saya rasa film ini agak terlalu panjang, walaupun tidak terasa bertele-tele. Maksudnya adalah film ini bisa dibagi menjadi tiga film yang berbeda. Bukan kesalahan yang minor memang, karena saya menganggap ending dalam film ini, no matter how cop-out it was and no matter I think the third act was a bit overlong, masih terasa begitu rewarding. Setelah kebenaran terungkap, setelah hampir kehilangan orang tersayang dan setelah penyesalan akhirnya terucap in the place beyond the pines, there's a glimmer of hope in all of the characters.
In a larger scale, mungkin memang saya merasa film ini agak terasa sedikit muddled. Tetapi Cianfrance untungnya tetap berhasil memberikan sajian keintiman lewat beberapa momen-momen kecil didalamnya. Ketika Luke berinteraksi dengan anaknya, for instance. Ada sebuah kebingungan, kecanggungan tetapi muncul kehangatan lewat pancaran mata Luke ketika ia bersama Jason kecil. Hal tersebut membuat saya yang awalnya merasa babak pertama menjadi seperti Drive-knock-off, eh ternyata porsinya menjadi lebih emosional. Itu juga membuat saya merasa bahwa Ryan Gosling adalah salah satu aktor paling talented di generasinya. Contoh yang lain adalah ketika karakter Robin, yang diperankan dengan begitu baik oleh Ben Mendehlson, merayakan kesuksesan perampokan banknya dengan Luke. Atau ketika ia bertemu pertama kalinya dengan Jason, dan masih ada segelintir momen-momen kecil lagi. That leads me to another great point from this film; the acting. Selain Gosling dan Cooper, 2 nama besar yang memberikan akting yang pas, ada Mendehlson yang menunjukkan bahwa ia secara pelan tapi pasti menjadi salah satu go-to character actor di Hollywood; ada Eva Mendes dalam salah satu perfoma terbaiknya; serta yang paling menarik perhatian tentunya 2 aktor muda Dane Dehaan (ingat film Chronicle?) yang berhasil menampilkan aura alienation serta Emory Cohen yang juga tampak believable sebagai swag-thug-bad-son. Tanpa akting mereka, fase ketiga tentunya akan menjadi sangat unbearable dan terlalu klise.
Sejujurnya saya masih belum bisa menentukan apakah saya sekedar menyukai atau sudah taraf mencintai film ini. Ada kalanya dimana saya begitu tersanjung dengan akting para cast yang benar-benar mumpuni, saya juga suka dengan bagaimana Cianfrance menawarkan kisah drama yang hangat dan poignant serta ketika ia juga menyisipkan adegan yang memacu adrenalin (that first roberry scene with the nervous yet scary Luke was amazing). Tetapi saya juga merasa film ini agak terlalu panjang dan perpindahan antara fase tidak begitu pas, plus babak ketiga yang terasa underwhelming. Beberapa iringan violin dalam score nya juga entah mengapa terasa lebay ketika dipakai untuk memberikan efek dramatis. Tetapi dengan 2 cerita yang kuat, heartwarming scenes, plus good performances all around, saya merasa The Place Beyond the Pines masih masuk dalam daftar film yang menggugah.
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
The Place Beyond The Pines (2013) | United States | 140 minutes | Crime, Drama | Rated R for language throughout, some violence, teen drug and alcohol use, and a sexual reference | Cast: Ryan Gosling, Bradley Cooper, Eva Mendes, Ray Liotta, Ben Mendelsohn, Rose Byrne, Mahershala Ali, Bruce Greenwood, Harris Yulin, Dane DeHaan, Emory Cohen | Screenplay by: Derek Cianfrance, Ben Coccio, Darius Marder | Directed by: Derek Cianfrance
Porsi ceritanya si Gosling sama karakternya jauh lebih menarik daripada Bradley Cooper, lebih simpatik juga
ReplyDeleteIya, Gosling keren disini mainnya, lebih bagus disini IMO daripada di Drive sih haha lebih keluar emosinya...
DeleteBelum sempet nonton ini, kayaknya atmosfernya agak-agak mirip Drive ya?
ReplyDeleteAwal2nya mirip Drive, tapi lama kelamaan malah enggak haha
DeleteSalah satu film yang paling gue tunggu untuk ditonton di 2013, hehe
ReplyDeleteHaha ayo ditonton pi! Bagus :)
DeleteGreat review Fariz! It's been a while since I read a looong review in Indonesian, took me a while to read it, ahah.
ReplyDeleteY'know, I'm one of the few people who aren't fond of Ryan Gosling. I dunno, he kind of annoys me as he always appears so darn smug. I thought he was terrible in Gangster Squad too, and DRIVE doesn't appeal to me at all (can't imagine watching him acting smug for over an hour, ahah). That said, I might give this a try as it's more of an ensemble cast, and I was impressed w/ Dane DeHaan in Chronicle so curious to see his performance here.
Thank you, Ruth!
DeleteHaha well I understand that he can come off a bit of a smug sometimes. If you'd like, you should try Half Nelson or Blue Valentine, those are my favorites of Gosling's performances :)
I'm actually curious about Lars and the Real Girl too, that one looks intriguing.
DeleteKedengarannya menarik..tapi Drive aja masih belum ditonton :( masih banyak ynag mencuri perhatian akhir2 ini.
ReplyDeleteAkan sy ingat2 buat tontonan nanti kalo sempat :)
Hehe filmnya mungkin agak lama sih, Miss, 2-jam setengah, jadi mungkin bisa kerasa agak draggy, but I like it overall :)
DeleteHey I'm back. Hahaha
ReplyDeleteWah nonton dimana, Riz? Pengen banget nonton ini. Juga nggak sabar Only God Forgives!
Udah lama gak nongol dan! Btw selamat ya udah lulus SMA hahaha download dong, biasa...
DeleteYup mau nyari link nya nih. Hehe thanks riz, lulus juga akhirnya. Walaupun (mungkin) gw msh blogger termuda di community, yea. Haha
Deletebtw,,,,eva mendes ko jelek bgt ya dsini???
ReplyDeleteLool, yaah biar total aja mainnya lusuh2 gitu
Delete