Bercerita tentang gadis muda bernama Paikea 'Pai' (Keisha Castle-Hughes), keturunan dari 'chief' (bisa dibilang ketua suku juga) di suku Maori yang terletak di Selandia Baru. Dalam tradisi suku tersebut, hanya seorang anak laki-laki tertua dari keluarga chief lah yang bisa menjadi ketua berikutnya. Istilah 'whale rider' sendiri datang dari legenda tentang ancestor suku tersebut, yang juga bernama Paikea, yang konon menemukan pulau itu dan membentuk suku Maori setelah mendapat pertolongan dari seekor paus sambil menungganginya. Ibu Pai meninggal ketika melahirkan Pai serta saudara kembar laki-lakinya yang diharap-harapkan menjadi penerus suku Maori. Tapi sayangnya saudara kembarnya juga tidak selamat.
Pai yang diasuh oleh kakek dan neneknya akibat ayahnya yang lebih sering menetap di Eropa untuk menjalani hidupnya sebagai seniman. Meskipun tidak ditunjukkan, Pai merasa bahwa kelahirannya membawa kekecewaan yang besar bagi kakeknya, Koro (Rawiri Paratene) demi melanjutkan tradisi sukunya tersebut. Pai yang tidak patah semangat akhirnya terus berjuang untuk mendapatkan respect kepercayaan kakeknya sebagai penerus chief.
Film ini mengajak kita mengeksplorasi hamparan Selandia Baru selain keindahan yang ditunjukkan di film seri Lord Of The Rings. Kawasan tempat tinggal penduduk suku Maori terasa adem dan sangat sederhana. Selain itu, film ini juga mengangkat tentang kebudayaan asli suku Maori yang lumayan menarik. Selain legenda whale-rider, nyanyian-nyanyian serta beberapa tarian daerah Maori juga ditampilkan disini. Film yang bisa dibilang memiliki kelebihan sebagai Oscar-bait. Hasilnya? Nominasi Best Actress untuk Keisha Castle-Hughes, dan juga sebagai nominator termuda untuk kategori tersebut. Bagi gw film ini memiliki alur yang naik turun, kadang bagus, kadang membosankan juga. Akting dari Keisha Castle-Hughes yang gw akui sangat baik untuk anak seusianya, tapi terkadang masih terlihat ke-awkward-an di dalam penampilannya. Beberapa pemain pendukung juga tidak terlalu membantu. Memang gak bisa gw katakan buruk juga, tapi gak bagus-bagus amat.
Kalau bukan karena ceritanya sepertinya gw kurang tahan menghabiskan waktu nonton film ini. Pada intinya film ini mengisahkan tentang usaha Pai, seorang anak perempuan keturunan kepala suku yang akibat gendernya, ia tidak dapat meneruskan tradisi tersebut. Tradisi suku Maori adalah ketua suku atau chief hanya bisa dipegang oleh anak laki-laki pertama. Sepanjang film, kita dapat melihat bahwa Pai, dibandingkan dengan anak laki-laki lain, termasuk yang cukup berani bahkan memiliki kemampuan keras dan tidak gampang patah semangat. Lahir dengan membawa kekecewaan dan perasaan rejected dari kakeknya nyatanya tidak membuat Pai putus asa. Di masa persiapan seorang ketua suku, Pai yang sudah dilarang ikut, tetap ingin belajar taiaha (fighting stick).
Gw suka dengan approach yang dibawakan film ini yang mengaburkan tentang pentingnya suatu tradisi. Hanya akibat gender, Pai yang sebenarnya (jika dilatih) mampu menjadi seorang chief kelak, harus di'anak-tirikan'. Belum lagi dengan masalah antara kakek dan ayahnya. Hubungan ayah-anak itu retak karena tekanan sang kakek kepada ayah Pai selama untuk meneruskan tradisi, padahal ayah Pai lebih memilih menjadi seniman. Paman Pai sendiri, adik sang ayah, yang ternyata adalah juara taiaha dan mungkin kalau diberi kesempatan pun akan mampu meneruskan menjadi chief juga di'anak-tiri'kan akibat tradisi. Dari situ gw berfikir hanya karena suatu tradisi turun temurun, seseorang yang memiliki minat dan bakat terpaksa di nomer-2kan, sedangkan yang memenuhi kriteria malah gak memiliki niat sama sekali, bahkan bakal hidup gak tentram akibat paksaan. Agak gak adil sih, tapi lagi-lagi hal tersebut dilakukan atas nama sebuah tradisi. Jadi sebenernya penting gak sih?
Kembali ke masalah teknis, film ini menurut gw bener2 authentic dalam menghadirkan suasana suku Maori. Kayaknya sih talent-talent yang dipakai memang penduduk asli sana (mungkin hal ini menjelaskan mengenai performa akting yang tidak bagus-bagus amat). Setting dan properti nya juga sangat disesuaikan, sampai-sampai karakter-karakter anak2nya tidak ada yang memakai sepatu (mungkin disana memang kayak gitu). Atmosfir yang ditampilkan juga kayaknya Maori banget (sotoy, LOL). Sinematografi dan musiknya ditata dengan baik, dan menurut gw menambah nilai plus untuk film ini.
Ceritanya sungguh uplifting, serta usaha seorang Pai untuk mendapatkan respect kakeknya bener-bener patut dicontoh. Keunikan suku Maori cukup dituturkan dengan pas disini. Gw agak kurang sreg di masalah beberapa akting yang kadang sangat mengganggu. Untung saja bagian ceritanya yang inspiring membuat gw melupakan itu. Performa Castle-Hughes ketika membacakan pidato untuk kakeknya lumayan mengharukan dan sangat poignant. Sebuah film dengan unsur tradisional yang dibawakan dengan baik dan tidak asal tempel untuk dijual saja. Usaha Niki Caro, sang sutradara patut diacungi jempol. Kayaknya film-film Indonesia harus mencontoh film seperti ini. Itung-itung sekalian memperkenalkan budaya kita yang katanya banyak banget ke seluruh dunia.
Pai yang diasuh oleh kakek dan neneknya akibat ayahnya yang lebih sering menetap di Eropa untuk menjalani hidupnya sebagai seniman. Meskipun tidak ditunjukkan, Pai merasa bahwa kelahirannya membawa kekecewaan yang besar bagi kakeknya, Koro (Rawiri Paratene) demi melanjutkan tradisi sukunya tersebut. Pai yang tidak patah semangat akhirnya terus berjuang untuk mendapatkan respect kepercayaan kakeknya sebagai penerus chief.
Film ini mengajak kita mengeksplorasi hamparan Selandia Baru selain keindahan yang ditunjukkan di film seri Lord Of The Rings. Kawasan tempat tinggal penduduk suku Maori terasa adem dan sangat sederhana. Selain itu, film ini juga mengangkat tentang kebudayaan asli suku Maori yang lumayan menarik. Selain legenda whale-rider, nyanyian-nyanyian serta beberapa tarian daerah Maori juga ditampilkan disini. Film yang bisa dibilang memiliki kelebihan sebagai Oscar-bait. Hasilnya? Nominasi Best Actress untuk Keisha Castle-Hughes, dan juga sebagai nominator termuda untuk kategori tersebut. Bagi gw film ini memiliki alur yang naik turun, kadang bagus, kadang membosankan juga. Akting dari Keisha Castle-Hughes yang gw akui sangat baik untuk anak seusianya, tapi terkadang masih terlihat ke-awkward-an di dalam penampilannya. Beberapa pemain pendukung juga tidak terlalu membantu. Memang gak bisa gw katakan buruk juga, tapi gak bagus-bagus amat.
Kalau bukan karena ceritanya sepertinya gw kurang tahan menghabiskan waktu nonton film ini. Pada intinya film ini mengisahkan tentang usaha Pai, seorang anak perempuan keturunan kepala suku yang akibat gendernya, ia tidak dapat meneruskan tradisi tersebut. Tradisi suku Maori adalah ketua suku atau chief hanya bisa dipegang oleh anak laki-laki pertama. Sepanjang film, kita dapat melihat bahwa Pai, dibandingkan dengan anak laki-laki lain, termasuk yang cukup berani bahkan memiliki kemampuan keras dan tidak gampang patah semangat. Lahir dengan membawa kekecewaan dan perasaan rejected dari kakeknya nyatanya tidak membuat Pai putus asa. Di masa persiapan seorang ketua suku, Pai yang sudah dilarang ikut, tetap ingin belajar taiaha (fighting stick).
Gw suka dengan approach yang dibawakan film ini yang mengaburkan tentang pentingnya suatu tradisi. Hanya akibat gender, Pai yang sebenarnya (jika dilatih) mampu menjadi seorang chief kelak, harus di'anak-tirikan'. Belum lagi dengan masalah antara kakek dan ayahnya. Hubungan ayah-anak itu retak karena tekanan sang kakek kepada ayah Pai selama untuk meneruskan tradisi, padahal ayah Pai lebih memilih menjadi seniman. Paman Pai sendiri, adik sang ayah, yang ternyata adalah juara taiaha dan mungkin kalau diberi kesempatan pun akan mampu meneruskan menjadi chief juga di'anak-tiri'kan akibat tradisi. Dari situ gw berfikir hanya karena suatu tradisi turun temurun, seseorang yang memiliki minat dan bakat terpaksa di nomer-2kan, sedangkan yang memenuhi kriteria malah gak memiliki niat sama sekali, bahkan bakal hidup gak tentram akibat paksaan. Agak gak adil sih, tapi lagi-lagi hal tersebut dilakukan atas nama sebuah tradisi. Jadi sebenernya penting gak sih?
Kembali ke masalah teknis, film ini menurut gw bener2 authentic dalam menghadirkan suasana suku Maori. Kayaknya sih talent-talent yang dipakai memang penduduk asli sana (mungkin hal ini menjelaskan mengenai performa akting yang tidak bagus-bagus amat). Setting dan properti nya juga sangat disesuaikan, sampai-sampai karakter-karakter anak2nya tidak ada yang memakai sepatu (mungkin disana memang kayak gitu). Atmosfir yang ditampilkan juga kayaknya Maori banget (sotoy, LOL). Sinematografi dan musiknya ditata dengan baik, dan menurut gw menambah nilai plus untuk film ini.
Ceritanya sungguh uplifting, serta usaha seorang Pai untuk mendapatkan respect kakeknya bener-bener patut dicontoh. Keunikan suku Maori cukup dituturkan dengan pas disini. Gw agak kurang sreg di masalah beberapa akting yang kadang sangat mengganggu. Untung saja bagian ceritanya yang inspiring membuat gw melupakan itu. Performa Castle-Hughes ketika membacakan pidato untuk kakeknya lumayan mengharukan dan sangat poignant. Sebuah film dengan unsur tradisional yang dibawakan dengan baik dan tidak asal tempel untuk dijual saja. Usaha Niki Caro, sang sutradara patut diacungi jempol. Kayaknya film-film Indonesia harus mencontoh film seperti ini. Itung-itung sekalian memperkenalkan budaya kita yang katanya banyak banget ke seluruh dunia.
(***1/2)
South Pacific Pictures
Cast: Keisha Castle-Hughes, Rawiri Paratene, Vicky Haughton, Cliff Curtis, Grant Roa
Written by: Witi Ihimaera (novel), Niki Caro (screenplay)
Directed by: Niki Caro
No comments:
Post a Comment