Diangkat dari kisah nyata seorang pianis yahudi bernama Wladyslaw Szpilman di masa Perang Dunia II. Wladyslaw (Adrien Brody) adalah seorang pianis berbakat yang bekerja sebagai pemain piano untuk stasiun radio di tempat tinggalnya, Warsaw, Polandia. Sebagai seorang Yahudi yang hidup di era Nazi berkuasa membuat Wladyslaw dan keluarganya tidak bisa hidup tenang. Was-was dan cemas terhadap apa yang mungkin terjadi di depan mereka.
Semakin hari, Wladyslaw dan keluarganya harus menerima kenyataan dan diskriminasi besar-besaran untuk kaumnya dengan berbagai peraturan yang tidak jelas. Berbagai cara dan upaya dicoba oleh Wladyslaw agar mereka tetap bersama. Tetapi Wladyslaw pun harus terpisah dari keluarganya. Dari situ, ia berusaha untuk terus selamat dari satu tempat ke tempat lain menunggu perang usai, yang sepertinya tidak pernah akan datang.
Sepertinya film bertema Holocaust tidak pernah akan berhenti di produksi ya. IMO, masa-masa terkelam dalam sejarah manusia itu memang memiliki banyak kisah mengharukan dan menyayat hati yang sepertinya tidak akan ada habisnya diperas. Taun lalu gw baru aja nonton Schindler's List, yang gw anggap sebagai film bertema Holocaust terbaik yang pernah dibuat. Holocaust versi Spielberg tersebut sepertinya memang dibuat dengan atmosfir yang bener-bener bikin merinding dan sangat nyata dalam menggambarkan nasib para Yahudi ketika itu. Walaupun memang gw tidak pernah dan semoga tidak akan merasakan penderitaan itu. Dibandingkan dengan List, Holocaust versi Roman Polanski ini mungkin terasa less brutal. Masih ada memang beberapa penggambaran kejamnya dan seenak-jidatnya para Nazi memperlakukan Yahudi, tetapi sepertinya The Pianist ini lebih menitikberatkan kepada perjalanan survival dari sang tokoh utama.
Dalam film ini, Wladyslaw (ada baiknya kita panggil saja Wlad biar lebih mudah) dan keluarganya menjadi saksi bagaimana tempat tinggalnya selama ini mulai di-invasi oleh Jerman. Hanya bermodalkan harapan dengan berita bahwa Inggris dan Perancis mendeklarasikan perang terhadap Jerman, ternyata kedamaian pun tak kunjung datang. Seiring film bergulir, hak-hak dan perlakuan terhadap Yahudi pun semakin tidak masuk akal. Celah apapun yang diincar oleh Wlad untuk menyelamatkan keluarganya nyatanya hanya bertahan beberapa saat. Untuk dapat bernafas dan melalui satu hari saja rasanya sudah menjadi suatu berkah bagi Wlad dan keluarganya. Mengingat nyawa mereka bisa saja hilang dalam hitungan detik (masih teringat dengan aksi amoral tentara Jerman ketika menerjunkan orang yang handicapped hanya karena tidak bisa berdiri, ya think?!?).
Tokoh Wlad ini sendiri di pertengahan film harus terpisah dengan keluarganya. Berkat beberapa kenalannya di berbagai tempat, Wlad mulai perjalanan panjangnya dalam bertahan hidup. Dari apartemen ke apartemen lainnya. Tiada hari tanpa rasa cemas baginya, takut ketauan. Gw sempat berfikir kok rasanya si Wlad ini beruntung banget ya? Banyak banget kejadian-kejadian yang thisss close dapat membuatnya kehilangan nyawa, bahkan ketika di akhir-akhir perang saat ia terdampar di markas Jerman. How lucky! And then I started to think... Lucky? Apakah bener-bener beruntung bagi Wlad dapat lolos dari cengkraman maut terus-terusan? Tanpa mengetahui nasib keluarganya, yang sepertinya pun tidak akan selamat. Walaupun nanti selamat pun, Wlad akan hidup dengan trauma dan beban yang berat akibat semua horror yang ia saksikan. Ada benarnya juga salah satu dialog yang diucapkan oleh pemilik kafe yang baru saja mengetahui Wlad terpisah dari keluarganya; 'the sooner, the better' (kurang lebih begitu). Yang maksudnya adalah bagi keluarga Wlad, semakin cepat meninggal, semakin baik. The fact that those horrible words seem so 'rational' at that time is really insane.
Peraih Golden Palm dalam Festival Film Cannes tahun 2002 ini juga meraih 3 Oscar di tahun 2003. Walaupun tidak meraih Best Picture, The Pianist menyabet penghargaan2 yang lumayan besar di Oscar, yaitu Best Director untuk Roman Polanski, Best Adapted Screenplay untuk Ronald Hardwood dan Best Actor untuk Adrien Brody (siapa yang tidak lupa dengan ciuman mautnya untuk Halle Berry saat menerima Oscar, lol). Sebagai Wlad, Adrien Brody bermain sangat baik memainkan karakternya, yang dari awalnya sangat optimis, hingga menjadi rapuh. Penggambaran tokoh Wlad yang bukanlah seorang hero, tapi hanya seorang survivor yang mengambling hidupnya setiap hari membuat tokoh Wlad jadi sangat nyata. Scene ketika ia memainkan piano lagi untuk pertama kalinya (dan mungkin menyelamatkan nyawanya juga) di bagian belakang film sangat menghipnotis. Gw gak tau apakah Adrien Brody fluent dalam bermain piano sebelum shooting film ini. Kalau enggak, thumbs up!
Seperti yang gw bilang sebelumnya, penggambaran Holocaust versi Polanski ini tidak se-brutal List, tapi apa yang Polanski sajikan tidak kalah kejamnya. Penderitaan-penderitaan kaum Yahudi lebih sering dipertunjukkan melalui dialog-dialog tokoh. Sedih ketika mendengar cerita ibu yang tanpa sengaja membunuh anaknya sendiri untuk melindungin keluarganya gara-gara anaknya menangis. Acceptance dan regret yang ditunjukkan oleh tokoh Wlad kepada salah seorang keluarganya ("I wish I have known you better" -kurang lebih seperti itu) juga sangat mengharukan. Setting yang cukup authentic dan penataan musik yang baik juga menurut gw termasuk nilai plus untuk film ini.
Lagi-lagi film yang akan terus mengingatkan kita kepada sejarah kelam dunia. Walaupun gw masih menganggap Schindler's List adalah film Holocaust terbaik, The Pianist juga tidak bisa dianggap remeh. Tidak ada aksi-aksi klise heroik dari tokoh utama, hanya ada cerita survival dari seorang yang menjadi saksi kejamnya Nazi dan hanya ingin bertahan hidup. Film yang depressing seperti ini mungkin memang bukan untuk semua orang. Dengan permainan apik dari Adrien Brody, dan penyutradaraan yang oke dari Polanski, sepertinya The Pianist sangat pantang dilewatkan.
Semakin hari, Wladyslaw dan keluarganya harus menerima kenyataan dan diskriminasi besar-besaran untuk kaumnya dengan berbagai peraturan yang tidak jelas. Berbagai cara dan upaya dicoba oleh Wladyslaw agar mereka tetap bersama. Tetapi Wladyslaw pun harus terpisah dari keluarganya. Dari situ, ia berusaha untuk terus selamat dari satu tempat ke tempat lain menunggu perang usai, yang sepertinya tidak pernah akan datang.
Sepertinya film bertema Holocaust tidak pernah akan berhenti di produksi ya. IMO, masa-masa terkelam dalam sejarah manusia itu memang memiliki banyak kisah mengharukan dan menyayat hati yang sepertinya tidak akan ada habisnya diperas. Taun lalu gw baru aja nonton Schindler's List, yang gw anggap sebagai film bertema Holocaust terbaik yang pernah dibuat. Holocaust versi Spielberg tersebut sepertinya memang dibuat dengan atmosfir yang bener-bener bikin merinding dan sangat nyata dalam menggambarkan nasib para Yahudi ketika itu. Walaupun memang gw tidak pernah dan semoga tidak akan merasakan penderitaan itu. Dibandingkan dengan List, Holocaust versi Roman Polanski ini mungkin terasa less brutal. Masih ada memang beberapa penggambaran kejamnya dan seenak-jidatnya para Nazi memperlakukan Yahudi, tetapi sepertinya The Pianist ini lebih menitikberatkan kepada perjalanan survival dari sang tokoh utama.
Dalam film ini, Wladyslaw (ada baiknya kita panggil saja Wlad biar lebih mudah) dan keluarganya menjadi saksi bagaimana tempat tinggalnya selama ini mulai di-invasi oleh Jerman. Hanya bermodalkan harapan dengan berita bahwa Inggris dan Perancis mendeklarasikan perang terhadap Jerman, ternyata kedamaian pun tak kunjung datang. Seiring film bergulir, hak-hak dan perlakuan terhadap Yahudi pun semakin tidak masuk akal. Celah apapun yang diincar oleh Wlad untuk menyelamatkan keluarganya nyatanya hanya bertahan beberapa saat. Untuk dapat bernafas dan melalui satu hari saja rasanya sudah menjadi suatu berkah bagi Wlad dan keluarganya. Mengingat nyawa mereka bisa saja hilang dalam hitungan detik (masih teringat dengan aksi amoral tentara Jerman ketika menerjunkan orang yang handicapped hanya karena tidak bisa berdiri, ya think?!?).
Tokoh Wlad ini sendiri di pertengahan film harus terpisah dengan keluarganya. Berkat beberapa kenalannya di berbagai tempat, Wlad mulai perjalanan panjangnya dalam bertahan hidup. Dari apartemen ke apartemen lainnya. Tiada hari tanpa rasa cemas baginya, takut ketauan. Gw sempat berfikir kok rasanya si Wlad ini beruntung banget ya? Banyak banget kejadian-kejadian yang thisss close dapat membuatnya kehilangan nyawa, bahkan ketika di akhir-akhir perang saat ia terdampar di markas Jerman. How lucky! And then I started to think... Lucky? Apakah bener-bener beruntung bagi Wlad dapat lolos dari cengkraman maut terus-terusan? Tanpa mengetahui nasib keluarganya, yang sepertinya pun tidak akan selamat. Walaupun nanti selamat pun, Wlad akan hidup dengan trauma dan beban yang berat akibat semua horror yang ia saksikan. Ada benarnya juga salah satu dialog yang diucapkan oleh pemilik kafe yang baru saja mengetahui Wlad terpisah dari keluarganya; 'the sooner, the better' (kurang lebih begitu). Yang maksudnya adalah bagi keluarga Wlad, semakin cepat meninggal, semakin baik. The fact that those horrible words seem so 'rational' at that time is really insane.
Peraih Golden Palm dalam Festival Film Cannes tahun 2002 ini juga meraih 3 Oscar di tahun 2003. Walaupun tidak meraih Best Picture, The Pianist menyabet penghargaan2 yang lumayan besar di Oscar, yaitu Best Director untuk Roman Polanski, Best Adapted Screenplay untuk Ronald Hardwood dan Best Actor untuk Adrien Brody (siapa yang tidak lupa dengan ciuman mautnya untuk Halle Berry saat menerima Oscar, lol). Sebagai Wlad, Adrien Brody bermain sangat baik memainkan karakternya, yang dari awalnya sangat optimis, hingga menjadi rapuh. Penggambaran tokoh Wlad yang bukanlah seorang hero, tapi hanya seorang survivor yang mengambling hidupnya setiap hari membuat tokoh Wlad jadi sangat nyata. Scene ketika ia memainkan piano lagi untuk pertama kalinya (dan mungkin menyelamatkan nyawanya juga) di bagian belakang film sangat menghipnotis. Gw gak tau apakah Adrien Brody fluent dalam bermain piano sebelum shooting film ini. Kalau enggak, thumbs up!
Seperti yang gw bilang sebelumnya, penggambaran Holocaust versi Polanski ini tidak se-brutal List, tapi apa yang Polanski sajikan tidak kalah kejamnya. Penderitaan-penderitaan kaum Yahudi lebih sering dipertunjukkan melalui dialog-dialog tokoh. Sedih ketika mendengar cerita ibu yang tanpa sengaja membunuh anaknya sendiri untuk melindungin keluarganya gara-gara anaknya menangis. Acceptance dan regret yang ditunjukkan oleh tokoh Wlad kepada salah seorang keluarganya ("I wish I have known you better" -kurang lebih seperti itu) juga sangat mengharukan. Setting yang cukup authentic dan penataan musik yang baik juga menurut gw termasuk nilai plus untuk film ini.
Lagi-lagi film yang akan terus mengingatkan kita kepada sejarah kelam dunia. Walaupun gw masih menganggap Schindler's List adalah film Holocaust terbaik, The Pianist juga tidak bisa dianggap remeh. Tidak ada aksi-aksi klise heroik dari tokoh utama, hanya ada cerita survival dari seorang yang menjadi saksi kejamnya Nazi dan hanya ingin bertahan hidup. Film yang depressing seperti ini mungkin memang bukan untuk semua orang. Dengan permainan apik dari Adrien Brody, dan penyutradaraan yang oke dari Polanski, sepertinya The Pianist sangat pantang dilewatkan.
(****1/2)
Studio Canal
Cast: Adrien Brody, Emilia Fox, Michal Zebrowski, Ed Stoppard, Maureen Lipman, Frank Finlay
Written by: Ronald Harwood (screenplay), Wladyslaw Szpilman (memoir)
Directed by: Roman Polanski
Cast: Adrien Brody, Emilia Fox, Michal Zebrowski, Ed Stoppard, Maureen Lipman, Frank Finlay
Written by: Ronald Harwood (screenplay), Wladyslaw Szpilman (memoir)
Directed by: Roman Polanski
gw kasian sma tntara jerman yg nolongin Wlad,si Wlad ga smpet balas budi sma dia..hehe
ReplyDeleteiya kasian bgt dia, si Wlad udah telat dateng kesana...
ReplyDelete