Sunday, January 30, 2011

Review: The Breakfast Club (1985)

Plot: Di hari Sabtu, 5 orang siswa Shermer High School yang sebelumnya tak pernah mengenal satu sama lain dipertemukan dalam detention yang mereka terima akibat dari perbuatan mereka. Satu persatu, mereka adalah, John Bender (Judd Nelson), seorang 'punk' yang annoying; Andrew Clark (Emillio Estevez), seorang atlit wrestling; Allison Reynolds (Ally Sheedy), cewek freak dan outcast; Claire Standish (Molly Ringwald), it-girl, gadis kaya dan populer; dan Brian Johnson (Anthony Michael Hall), the nerd. Pengawas mereka adalah sang kepala sekolah Richard Vernon (Paul Gleason) yang strict. Terjebak dalam satu hari penuh bersama-sama, mereka menyadari bahwa mereka bukanlah hanya sekedar 'criminal', 'athlete', 'basket case', 'princess' atau 'brain, mereka jauh lebih dari itu.

Review: Digadang-gadang sebagai salah satu film coming-of-age dan high school terbaik, The Breakfast Club ditulis dan disutradarai oleh (Alm) John Hughes. Siapa sih John Hughes? Dia adalah orang dibalik Sixteen Candles, some of National Lampoon's, Pretty In Pink, Some Kind of Wonderful, Planes Trains & Automobiles atau Feris Bueller's Day Off. Masih gak tau? Wajar kalo lo tidak hidup di era 80an, sama seperti gw yang bahkan belom pernah nntn semua hahaha. Katanya sih, film-film bikinannya selalu nge-hit diantara remaja-remaja ataupun keluarga 80an. Mau judul yang lebih familiar? Home Alone series, Flubber, Beethoven, 101 Dalmatians atau Drillbit Taylor. Jasanya sebagai filmmaker tentu sangat berarti sampai2 dalam acara penganugerahan Oscar tahun lalu ada tribute dalam rangka in memorian untuk Hughes.

The Breakfast Club sendiri adalah satu dari sekian filmnya yang berhubungan dengan remaja dan high-school. Sebenarnya apa yang pertama gw tangkep di awal film adalah betapa stereotype dan klisenya karakter-karakter yang ada. 'Athlete' as in jocks who think they are the leaders of the pack. Check. 'Princess' as in the most fashionable, elite (she eats sushi for God's sake lol) and popular girl. Check. 'Brain' as in the nerdiest, the one who involves in science club. Check. 'Criminal' as in someone whose first instict is to break rules and annoy people. Check. 'Basket case' as in the out-of-this-world and weirdo girl. Check. But then it's not really as shallow as that. Breakfast ternyata memili ki pesan yang more deeper than it seems. Di awal-awal film, Breakfast sepertinya ingin menunjukkan perbedaan-perbedaan di antara karakter. Bagaimana cara mereka berbicara, melakukan sesuatu, bahkan hingga makanannya. Seiring berjalannya film juga, kita melihat karakter2nya mulai bisa mengenal dan mengerti perbedaan-perbedaan satu sama lain.

Apa yang ingin diangkat dari Breakfast adalah apapun golongan kita, siapapun kita di highschool, top or in bottom of the 'food-chain' kita semua memiliki masalah masing-masing. Ada satu quotes yang nyantol banget di kepala gw dari film ini: "What’s bizarre? I mean, we’re all pretty bizarre. Some of us are just better at hiding it, that’s all". Ya kan? Coba kita lihat seorang 'aneh' seperti Allison ternyata seorang compulsive liar, orang se-tough Andrew ternyata memiliki daddy issues, se-big mouth Bender nyatanya tidak mampu berkonfrontasi saat tersudut, dan yang paling menohok gw adalah alasan mengapa Brian ended up at detention. Everybody has their own problems, the question is how can we bother to ask, know and understand them, if we don't really pay attention to them.

Itulah yang juga menjadi kekuatan Breakfast: karakterisasi. Di awal film kita melihat karakter-karakter yang dengan cepat men-judge orang-orang disekitarnya. Kita, sebagai penonton juga akan ikut-ikutan men-judge. Bukan hanya antara para siswa, tapi juga dengan sang kepala sekolah. Gw, personally gak suka sama dia pas awal, gw mikir dia terlalu strict, terlalu konvensional, dictator-kinda-man. Tapi dibalik itu, sebenarnya dia hanya ingin mendidik anak-anak dengan baik, yang bisa dibilang juga the future generation, the ones who will rule the country, the world and eventually taking care of him when he gets old. Rasional kan? Memang old-fashioned caranya kalo dipake sekarang *poking my own high school teachers who think they know every single thing*.

Apa yang membuat Breakfast berbeda dengan film-film bertema 'popular meets geek' adalah adanya perbincangan tentang apa yang akan terjadi setelah mereka menghabiskan waktu di detention ini pada sebuah adegan heartbreaking ketika mereka mulai bisa membuka rahasia mereka. Sebuah ide untuk hanya menyapa di lorong sekolah pun sebenarnya menjadi hal yang akan sulit dilakukan. Let's get real, in high school, strata itu udah menjadi suatu hal inevitable kan? Mau lo bilang sekompak apapun angkatan lo di sekolah, pasti akan ada yang namanya 'geng-geng'an. Walaupun kayaknya gak se-extreme di luar negeri ya. Di sekolah gw, at least, gak begitu. Walaupun memang kita tidak akan pernah tau apa yang terjadi selanjutnya, gw bisa merasakan kalo cara pandang para karakter jadi lebih terbuka dari sebelumnya.

The Breakfast Club tidak hanya menujukkan betapa kita masing-masing memiliki perbedaan, tapi juga how we cope with that. No, bukan dengan detention dan once in a lifetime coincidental, like a metaphore used in here. Tapi dengan respect and understanding. Gw tidak akan terlalu mengomentari tech aspects nya. Tidak terlalu fenomenal (kurang suka dengan penempatan lagunya sih, but I can live with that), tapi tetep gw consider rapi. Ada satu juga quote yang gw suka (not from the movie): 'You can compare your lives to others, you have no idea what they'e been through' dan The Breakfast Club berhasil merangkum hal itu. The Breakfast Club jelas adalah salah satu film dengan pesan yang poignant dengan penampilan yang emosional dan honest menjadi salah satu film bertema high school terbaik yang pernah ada. Bravo Hughes.

(*****)


Universal Pictures
Cast: Judd Nelson, Emilio Estevez, Molly Ringwald, Ally Sheedy, Anthony Michael Hall, Paul Gleason, John Kapelos
Written and directed by: John Hughes

7 comments:

  1. sayangnya dari semua cast remaja itu, ga ada yg berhasil bertahan sampai sekarang...
    but filmnya memang bagus bgt...

    ReplyDelete
  2. Baru selse nonton yg ini dan wah ngena juga ke sekolah gue hahaha, bener2 nyerminin highschool society di jakarta, selatan khususnya wkwkwk. Tapi entah kenapa gw lebih suka risky business, mungkin karena dia satirnya lebih ke lingkungan ortu-anak kali ya

    ReplyDelete
  3. @alyano: iya, memang begitulah siklus aktor di Hwood, kalo ada yg baru, yg lama ditinggalkan hahaha

    @daniel: gak di jakarta aja kok dan menurut gw, pasti di sekolah2 lain juga hehe kalo Breakfast Club gak begitu satir sih, makanya menurut gw lebih serius dan jadinya pesan yg disampaikan pas bgt buat gw hahaha

    ReplyDelete
  4. Pertama kali gue nonton nih film, gue dibikin bosen&jengkel. Ini film datar amatt tapi begitu di akhir (pas berkumpul) itu adalah scene yang merubah semua opini gue ttg film ini.
    Setelah nonton dua kali, jadi suka bgt!
    Ini bukan film teen-flick ttg school-heist mainstream yg gue duga! Bener2 banyak makna terkandung dlm film ini, wajib tonton deh.. 4.5/5 (my verdict)
    Nice review btw

    ReplyDelete
  5. Wtf!! Ferris bueller yg bikin John Hughes gilaa tuh film yg bikin gue demen nembang twist&shout!

    ReplyDelete
  6. gue waktu nonton ini juga kayak bosen gitu lho soalnya scenenya ya dstu2 aja tpi pas yg terakhirnya mereka ngumpul itu jadi bagian yang seru dan alasan Claire (it-girl) kena detention juga masih belum tau kenapa atau gue miss scenenya ya :/

    ReplyDelete
  7. Bahasa berantakan. Alur pikiran kacau, meloncat-loncat.Tidak bagus.

    ReplyDelete