Monday, September 12, 2011

Review: Rise of the Planet of the Apes (2011)

Plot: Will Rodman (James Franco) adalah seorang scientist yang sedang berusaha untuk mencari obat penyakit alzheimer yang juga diderita oleh ayahnya, Charles (John Lithgow). Seekor kera yang menjadi bahan eksperiment-nya mendadak menjadi agresif dan mengacaukan pertemuannya dengan anggota dewan dan memaksa boss Will, Steven (David Oyelow) untuk menghentikan percobaan obat yang diberi nama ALZ-112 tersebut. Ternyata, kera tersebut berubah agresif bukan karena side-effect obat, tetapi protektif oleh anaknya yang baru saja lahir, yang kemudian diasuh oleh Will. Kera yang kemudian diberi nama Caesar (Andy Serkis) ternyata mendapat dampak dari obat ALZ-112 tersebut dan lama kelamaan menunjukkan kecerdasan yang meningkat pesat. Tanpa Will ketahui, pada akhirnya Caesar akan berevolusi menjadi lebih pintar dan memimpin sebuah revolusi yang akan mengubah bumi selamanya.

Review: Bagi beberapa moviegoer, mungkin ada yang sempat menonton Planet of the Apes di tahun 2001 dulu? Film arahan Tim Burton serta dibintangi oleh Mark Wahlberg, Helena Bonham Carter, Michael Clarke Duncan, etc itu sendiri adalah sebuah remake dari sebuah film berjudul sama di tahun 1968 yang dibintangi oleh aktor Charlton Heston. Apes versi Burton ketika dirilis mendapat kritikan tajam akibat alur cerita yang membosankan, akting yang kurang baik serta twist ending legendaris yang direvisi tetapi menjadi lebih membingungkan. Versi tahun 2001 itu lebih unggul dalam bidang make-upnya yang ditangani oleh Rick Baker (menang Oscar kemarin lewat make-up The Wolfman) yang mendapat banyak pujian. Tahun ini, muncul lah sebuah versi reboot dengan cerita baru yang kemudian menjadi sebuah dasar dari keseluruhan serial film ini, yaitu Rise of the Planet of the Apes (ROTPOTA). Rupert Wyatt, sebuah yang terhitung masih sangat baru (ini adalah film keduanya setelah The Escapist di tahun 2008) ditunjuk menjadi sutradara. James Franco yang saat ini lagi hits serta Andy Serkis, Freida Pinto (Slumdog Millionaire), John Lithgow, Tom Felton, Brian Cox untuk membintangi film ini. Beberapa bulan yang lalu, menganalisa dari promosi yang dilakukan oleh 20th Century Fox, rasanya ROTPOTA bukanlah sebuah film kuat dan dipercaya untuk sukses. Trailer pertamanya pun tidak mendapat sambutan yang meriah. Tetapi ketika akhirnya film ini dirilis, tidak terduga-duga, menjadi salah satu film dengan review terbaik tahun ini. Lewat word of mouth itu tadi, ROTPOTA akhirnya sempat merajai box office dan disambut baik oleh para kritikus. Dan tentu saja, gw adalah salah satunya.

Credits tertinggi sepertinya layak dijatuhkan untuk duo penulis naskah Rick Jaffa dan Amanda Silver. Berkat naskah, yang bisa dibilang original, racikan mereka ini, ROTPOTA mampu memberikan suguhan emosional dan menegangkan dalam waktu yang bersamaan. Dari awal, ROTPOTA tidak segan-segan untuk menaikkan tensi ketegangan. Walaupun sempat reda beberapa saat, rasa mencekam sekaligus seru kembali dibawakan akibat alur cerita yang cepat dan tidak bertele-tele. ROTPOTA itu bercerita tentang sebuah evolusi. Evolusi secara genetik maupun sosial. Kita melihat karakter Caesar dari kecil menjadi seorang leader yang mampu memimpin sekelompok primata nantinya. Menonton ROTPOTA juga memiliki kesan yang sama seperti menonton sebuah film penjara, let's say 'A Prophet' (2009). Analogi yang rada aneh memang, tapi di beberapa bagian begitulah yang gw rasakan, terutama pada bagian ketika Caesar mulai dijerumuskan ke sebuah shelter akibat ulah liarnya yang tidak bisa dikontrol (agak spoiler dikit, sorry!). Dari rasa terbuang dan siksaan yang sangat menyedihkan dan menguras emosi, hingga sebuah kebangkitan seorang 'prophet' untuk kaum primata yang seperti kita sudah ketahui di sekuel-sekuelnya menjadi penguasa bumi. Tunggu sebuah satu kata penting yang diucapkan salah satu karakternya, pasti akan membuat lo menahan nafas... Seperti tagline film ini, 'evolution becomes revolution'. Tidak lupa, banyak lho referensi yang dipakai oleh film ini untuk menyambungkannya ke film-film pendahulunya atau possible sequel (yang kemungkinan kuat akan dibuat), seperti bagaimana perjalanan virus yang pada akhirnya akan memusnahkan manusia hingga perjalanan manusia ke luar angkasa. Atau yang lebih 'lucu' ketika Caesar memainkan replika boneka patung Liberty. Bagi yang sudah pernah menonton atau tahu ending Planet of the Apes tahun 68 pasti langsung tahu merujuk kemana adegan tersebut.

Di beberapa bagian (sedikit sih), ROTPOTA sebenarnya bisa saja terjerumus ke formula film-film 'experiment-gone-wrong' yang klise, tetapi ada satu hal yang cukup menohok ketika menonton film ini serta membuat film ini berbeda dengan film-film sejenis. ROTPOTA seakan memutarbalikkan role seorang manusia yang bahkan bisa bersikap lebih 'binatang' dibandingkan para primata itu sendiri. Contohnya seperti menjadikan mereka binatang percobaan untuk eksperimen. Kalo bagian ini sih sebenarnya menimbulkan dilema tersendiri. Boleh-boleh saja sih asal mereka juga harus di-treat sebagaimana seharusnya. Contoh lainnya seperti ketika para pemburu liar dengan seenaknya menangkap dan memisahkan mereka dari habitat aslinya. 'There are things that aren't meant to be changed', begitu lah kata Caroline yang bisa disambungkan dengan anjuran bagi kita untuk tidak boleh menentang hukum alam. Gak usah lah berlagak menjadi 'Tuhan' karena akibatnya bisa fatal. Lalu contoh lainnya tentang perlakuan kasar kepada 'tawanan' primata di shelter tersebut (baca paragraf sebelumnya). Tambahan lagi, coba perhatikan deh bagaimana karakter Caesar selalu berteriak memberikan komando kepada pasukannya sesaat sebelum mereka hendak menghabiskan nyawa seorang manusia. Lewat sikap tersebut, terlihat bahwa Caesar mampu bersikap lebih manusiawi dengan tidak mengizinkan mereka membunuh orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah atau bertindak sesuai perintah atasannya. Mereka juga memiliki rasa kekompakkan serta pengorbanan sesama mereka. Jadi sebenarnya yang binatang itu yang mana?

ROTPOTA bisa dibilang mampu menawarkan suguhan CGI yang unggul di dalamnya. Berbeda dengan film-film dari serial 'Apes' terdahulu yang masih memakai make-up sophisticated, ROTPOTA menggunakan teknologi yang disebut performance capture, ditangani oleh studio Weta Digital. Weta Digital sendiri sudah memiliki track records yang luar biasa, sebut saja trilogi Lord of the Rings hingga film terlaris sepanjang masa saat ini, Avatar. Andy Serkis, orang dibalik Gollum/Smeagol dalam trilogi LOTR, kembali memerankan sebuah karakter CGI, dalam film ini yaitu sang pemimpin pasukan apes, Caesar. Dalam 'memerankan' Caesar serta bantuan teknologi motion capture, Serkis mampu menunjukkan ekspresi yang belieavable dari seorang tokoh primata. Dari sedih yang menyayat hati, hingga ekspresi marah yang, seriously, sangat serem. Kecanggihan teknologi dan ke-sentral-an karakter Caesar tadi membuat karakter-karakter manusia nya jadi agak sedikit tersingkir dan terlupakan. Franco bermain cukup baik, ditemani oleh Lithgow yang berperan sebagai ayahnya juga boleh lah aktingnya. Pinto yang memerankan dokter hewan Caroline sekaligus love interest karakter Franco serasa seperti pemanis saja, padahal karakternya masih bisa dikembangkan lagi kalo saja film ini memiliki durasi yang sedikit lebih lama. Hal lain yang menurut gw bisa menjadi salah satu faktor utama mengapa film ini begitu mengasyikan untuk ditonton adalah score ciamik karya Patrick Doyle yang menggelegar dengan grand orchestra music nya turut menaikkan emosi dan tensi ketegangan dan juga gambar-gambar indah lewat cinematography arahan Andrew Lesnie. Suka banget ketika daun-daun berjatuhan di kala serbuan para primata dan juga ketika adegan-adegan memanjat yang fantastis.

Overview: Karena masih terlalu awal untuk men-declare ROTPOTA menjadi film yang terbaik tahun ini, maka gw hanya akan bilang bahwa film ini jelas mampu di-consider untuk mendapat gelar tersebut. Tidak usah tertipu dengan kemasannya yang agak tercium bau-bau film ringan, ROTPOTA memiliki cerita dan pesan yang jauh lebih dalam dan bermakna dibandingkan film popcorn semata. Penyutradaraan Rupert Wyatt dipercantik dengan naskah serta musik, editing dan shot yang juga keren. Jangan lupakan teknologi motion capture nya yang canggih dan alus banget. ROTPOTA secara tidak langsung memberikan kita pelajaran untuk lebih mencintai alam dan makhluk hidup lainnya. Ini film tentang evolusi, tentang bagaimana seorang (ataupun seekor) yang innocent dan sederhana mampu berubah menjadi individu yang kompleks dan tangguh. Serta nilai-nilai tentang pengorbanan, kemanusiaan hingga persaudaraan. ROTPOTA menyuguhkan itu semua dengan balutan film action beralur cepat yang menegangkan, heartbreaking, thought-provoking tanpa perlu menggurui. Ya, ROTPOTA adalah sebuah kejutan manis, sebuah reboot yang sukses dalam usahanya membangkitkan franchise yang sempat dinodai. Ya, Rise of the Planet of the Apes adalah salah satu film terbaik yang gw tonton tahun ini. Wajib tonton!

[B+]
Rise of the Planet of the Apes (2011) | Action, Drama, Sci-Fi, Thriller | Rated PG-13 for intense and frightening sequences of action and violence | Cast: James Franco, Andy Serkis, John Lithgow, Freida Pinto, Tom Felto, David Oyelowo, Brian Cox, Tyler Labine | Written by: Rick Jaffa dan Amanda Silver | Directed by: Rupert Wyatt

7 comments:

  1. nice review,
    Ni film CGI-nya mantap..Andy Serkis juga ngasih atmosfer 'hidup' ke Caesar (tapi ane heran aja klo ada yg bilang itu layak nominasi aktor Oscar..^^)

    btw,ane masi bertanya-tanya..bapaknya James Franco kmna ya..mksud ane-meninggal ato gmna...: )

    *oia,ane newbie-ijin pasang link di blog ane ya..

    ReplyDelete
  2. Mantap deh si Serkis, pas adegan close up ke muka si Caesar ekspresi sedihnya dalem tuh

    ReplyDelete
  3. Terima kasih ya Nugros :)

    Bapaknya kan *SPOILERRR* mati, ditunjukkin pas bapaknya nolak suntikan obat dari Will hehe

    Sip, nanti saya link :D

    ReplyDelete
  4. Iya banget Serkis keren nunjukkin ekspresinya walaupun lewat motion capture :)

    ReplyDelete
  5. baru nonton tadi, dan emang bener keren!!

    pas banget ketika cesar mengucapkan kata pertama itu, tiba-tiba hening #kemudianhening halah. itu bikin merinding, dan film ini emang memberikan banyak momen-momen kayak gitu tanpa harus nunjukin adegan yang berdarah-darah, ketegangannya udah kerasa

    ReplyDelete
  6. Wah ternyata kita sama2 mereview ini...hehehe ga heran abis br muncul di Indo sih. tinggal Super 8 nih yg belum nntn :(

    Nice review...hehe sekali2 baca review dlm bahasa sendiri enak juga. Ini film top bgt!! Buat sy, ini yg terbaik di 2011 (tp sy juga belum byk nntn sih). Benar2 bagus dan rating kita mirip, beda setengah aja ;)

    ReplyDelete