Friday, December 7, 2012

Review: Life of Pi (2012)

Plot: Piscine 'Pi' Patel (Suraj Sharma, diperankan oleh Irfan Khan saat dewasa) adalah seorang anak dari pemilik kebun binatang yang hendak pindah dari India ke Kanada melalui kapal pengangkut yang melintasi Samudra Pasifik. Akibat badai besar, kapal tersebut kemudian tenggelam bersama dengan keluarga Pi beserta kru-kru di dalamnya. Pi adalah satu-satunya yang selamat dari musibah tersebut, terombang-ambing dalam sebuah sekoci penyelamat yang juga membawa seekor harimau di atasnya.

Review: Teknologi tiga dimensi yang saat ini sedang naik daun pemakaiannya dalam film-film Hollywood akhirnya berhasil meyakinkan auteur seperti Ang Lee untuk ikut mencicipinya. Lee, dan di tahun sebelumnya, Martin Scorsese, lewat Hugo, adalah 2 nama yang saya anggap sebagai sutradara-sutradara yang sulit saya bayangkan menggunakan efek 3D dalam film-film mereka, yang hampir semua bernuansa drama. Ang Lee kita kenal lewat film-film seperti Crouching Tiger Hidden Dragon (2000), Hulk (2003), Lust Caution (2008) atau yang menghantarkanya mendapat piala Oscar, Brokeback Mountain (2005). Ketika berita Ang Lee akan mengadaptasi sebuah novel bertajuk Life of Pi, rasa penasaran saya benar-benar naik. Saya memang belum berkesempatan membeli novelnya, tetapi saya merasa cerita yang diangkat itu begitu challenging. Sebelum produksi film ini dimulai, novel karangan Yann Martel ini bahkan sudah didapuk sebagai sebuah buku dengan materi yang "unfilmable". Entah apa kriteria spesifik yang membuat novel ini mendapat predikat tersebut, maybe because they thought it was not possible to shoot a stranded Indian boy in a lifeboat with a tiger. Dan ternyata memang sulit. Maka dari itu teknologi CGI yang sekarang sudah begitu memadai dipakai pula untuk membuat sebuah (highly) unpleasant experience tersebut bisa menjadi nyata, walaupun hanya di layar lebar. Life of Pi, seperti judulnya, akan membawa kita untuk mengenal Piscine 'Pi' Patel, seorang keturunan India yang tumbuh di Pondicherry, India. Film ini diawali dengan pertemuan Pi dewasa (dimainkan oleh Irfan Khan) yang didatangi oleh seorang penulis (Rafe Spall) untuk menceritakan pengalaman yang terjadi ketika ia masih muda.

Mungkin saja kalau FPI tahu tentang karakter Pi, mungkin film ini sudah akan dijegal ya oleh mereka. Bagaimana tidak, Pi, dalam tumbuh kembangnya, 'menganut' tiga agama yang berbeda. Dibesarkan dalam sebuah komunitas yang mayoritas Hindu, berkat tempat tinggalnya yang memiliki penduduk dengan berbagai suku, ras dan agama, Pi pun berkenalan dengan Kristen serta Islam dan memutuskan untuk mengikuti ajaran-ajarannya. "Tinggal 2 agama lagi, kamu akan mendapat libur setahun", ejek sang ayah (Adil Hussain) yang cenderung agnostik (ragu akan agama dan keberadaan Tuhan). Dengan kedua orang tua yang fleksibel (sang ibu [diperankan oleh Tabu] menganut Hindu dan tetap mengajarkan keimanan kepada Pi dan sang kakak, Ravi), mungkin Pi yang menganut tiga agama sekaligus akan terlihat aneh. Some people (esp the conservative ones) might find it offensive. Bagi saya ini malah mempertegas bahwa sebenarnya, secara garis besar, mayoritas agama itu sebelas-dua-belas, hanya detail nya saja yang berbeda. Film ini pun tidak semerta-merta menunjukkan yang mana agama yang paling benar. Karena kunci dari ketaatan itu satu: percaya. Dan bagaimana kita bisa percaya? To seek it. Sebelum saya menonton film in, kebetulan saja khotbah yang saya ikuti ketika saya shalat Jumat juga mengandung tema tentang 'mencari Tuhan'. Seorang yang taat itu bukan yang shalat nya yang paling rajin, atau yang tidak pernah absen ke gereja. Tetapi dia yang mau mencari dan mendalami ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh agama mereka. Ada sebuah kalimat yang dilontarkan oleh ayah Pi dalam film ini yang membuat saya mengangguk-angguk antusias: lebih baik kita pelajari lebih dalam dulu satu agama, daripada menjadi pengikut semata dengan blind faith tanpa tau maksud dari apa yang kita kerjakan. Lho kok jadi saya yang khotbah ya? Hehehe

Keyakinan Pi terhadap Tuhan, atau 'Sosok yang lebih tinggi' (whatever you prefer it), diuji lewat musibah besar yang membuat kapal yang mengangkut keluarganya dan binatang-binatang kebun binatangnya tenggelam. Pi, yang selamat seorang diri menemukan dirinya terombang ambing di sebuah sekoci penyelamat. Untungnya, Pi tidak sendiri. Tidak untungnya, teman-temannya adalah seekor zebra, hyena, orangutan dan seekor harimau Bengal bernama Richard Parker. Dari situ Pi pun kembali diperlihatkan dengan true nature of animal; untuk bertahan hidup. Pada akhirnya Pi pun tinggal seorang diri bersama sang harimau, you can guess what happened. Lewat beberapa ilmu yang dia dapat dari orang tua serta survival guide and kit di dalam sekoci, dimulailah perjalanan Pi yang selama berminggu-minggu harus menghabiskan waktunya bersama Richard Parker. Hidup dengan seekor harimau buas seperti Parker memang jelas bukan a piece of cake. Ternyata Pi pun tidak sampai hati harus membunuh teman satu-satu nya tersebut. Bahkan dengan mengurus sekaligus menjinakkan Richard Parker membuat Pi memiliki sebuah tujuan, sebuah purpose untuk hidup. Hal itu pun juga menjaga sense of survival dalam diri Pi. There's a question arose at the ending, whether Pi's story is the real deal or not. Dan kembali lagi, intinya adalah: percaya. And so it is with God, kata Pi dewasa. Yann Martel telah membuat novel yang bagi saya penuh dengan filosofi dan sisi reliji tanpa secara eksplisit dituturkan secara preachy style. Dan David Magee, yang mengadaptasi novel ini menjadi sebuah script, pun telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan goal yang ingin dicapai Martel pula tentunya.

Dengan plot yang sebenarnya begitu singkat dan berpotensi membosankan, untungnya, there are no dull moments here. Thanks to Lee and Magee whose direction and writing made this film flows smoothly. Ada pula selipan humor-humor ringan yang tentunya menjadi sebuah hiburan di tengah sisi emosional film ini. Suraj Sharma yang baru pertama kali bermain dalam film layar lebar pun telah membawakan peran Pi dengan begitu baik, walaupun masih terlihat sisi awkward, tetapi itu semua masih dapat dimaklumi. Bintang-bintang lain yang hanya muncul sepersekian menit pun juga mampu memberikan permainan yang cukup mumpuni. And of course thanks to 3D. Pilihan Lee untuk membuat film ini menggunakan kamera 3D adalah sebuah keputusan yang sangat tepat. Some might say that the use of 3D in here is the best since, well... Avatar (2009). And yes they are absolutely right. Bahkan kalau boleh saya bilang, this is the best 3D usage so far in a commercial film. Lebih baik dari Avatar, malah. Kalau dibandingkan dengan Pi, efek dalam film Avatar entah mengapa hanya terlihat seperti sebuah tempelan visual saja. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Lee adalah memanfaatkan teknologi 3D untuk mempertegas narasi film ini. Lewat recollection kehidupan masa kecil hingga remaja Pi yang seakan membawa kita ke ranah dreamy state serta CGI yang dipakai dalam menghidupkan beberapa hewan dan panorama indah. 

Overview: Filled with philosophy and religious theme, but never felt like a lecture. Filled with gorgeous shots of nature, but never looked like a Discovery Channel feature. Life of Pi adalah sebuah film yang berbicara tentang keyakinan. Keyakinan terhadap Tuhan serta keyakinan terhadap hidup. Ang Lee merangkai semua elemen dengan begitu baik membuat Life of Pi jauh dari kesan preachy ataupun monoton. Tiga dimensi yang dipakai film ini begitu efektif kegunaannya dalam penceritaan. Saya tidak bisa menjamin setelah menonton film ini anda akan langsung percaya dengan Tuhan, tetapi saya rasa film ini akan membuat anda, at least, believe that in the most desperate and devastated time, it is important not to lose hope. Cheers!

Life of Pi (2012) | Adventure, Drama | Rated PG for emotional thematic content throughout, and some scary action sequences and peril | Cast: Irfan Khan, Suraj Sharma as Pi, Ayush Tandon, Gautam Belur, Tabu, Adil Hussain, Gérard Depardieu, Rafe Spall | Screenplay by: David Magee | Directed by: Ang Lee

4 comments:

  1. Replies
    1. Personal preference :) haha skrg agak2 mikir kalo ngasih nilai sempurna sih, gara2 TDKR yang setelah ditelaah skrg gak sebagus pas gw tonton hehe tapi A dan A- sebenarnya gak jauh berbeda kok, Life of Pi is still one brilliant film.

      Delete
  2. I concur with most of your points! Thanks for the review. Just watched it yesterday. Haha.

    ReplyDelete