Plot: Sungguh malang nasib Ted Narracot (Peter Mullan), akibat rasa gengsi dengan landlord yang ia hutangi, ia 'terpaksa' membeli sebuah kuda jenis thoroughbred yang umumnya dipakai sebagai kuda racing, bukan jenis plough yang mampu bekerja berat untuk dipakai di sawahnya. Ia kemudian menugasi Albert (Jeremy Irvine), anaknya, untuk melatih sang kuda yang saat itu masih muda. Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Albert dan kuda yang kemudian ia beri nama Joey ini semakin erat. Sayangnya, persahabatan mereka terancam ketika sang ayah terpaksa menjual Joey kepada tentara Inggris yang saat itu tengah berperang dengan Jerman.
Review: Sebagai salah satu sutradara paling terkenal di seantero jagad, rasanya bukan sebuah hal yang aneh tentunya ketika saya turut memfavoritkan Steven Spielberg, dan sebagai salah satu sutradara favorit saya, tentunya juga saya tidak sabar untuk menonton film terbarunya ini. Sama dengan tahun 2005 silam, ketika Spielberg memberikan penikmat film double feature lewat blockbuster War of the Worlds (one of his underrated movies, if I might say) serta the-more-serious, Munich, tahun 2011 ini, Spielberg juga menghadirkan dua buah film di tahun yang sama. Setelah sebelumnya saya telah mengulas The Adventures of Tintin (bahkan menaruhnya di Top 10 Films favorit saya tahun lalu), kini giliran War Horse yang akhirnya berkesempatan saya lahap. Di Amerika sana, Tintin dan War Horse dirilis di waktu yang bersamaan, membuat efek back-to-back Spielberg lebih terasa. War Horse diangkat dari sebuah novel karya Michael Morpurgo yang di-publish pertama kali di tahun 1982. Sebelum film ini, War Horse juga sempat diadaptasi menjadi sebuah pertunjukkan teater. Yang bertanggung jawab untuk merealisasikannya ke layar lebar, diutuslah Richard Curtis yang telah menelurkan Four Wedding and a Funeral, Love Actually hingga menulis sitcom Mr. Bean, among other things. Selain Curtis, ada Lee Hall yang sempat menulis film Billy Elliot.
War Horse bercerita cukup sederhana, tentang ikatan batin antara seorang pemuda dengan kuda kesayangannya. Ketika mereka terpisahkan akibat perang (we know it as World War I), maka kita akan diperlihatkan dengan perjalanan sang kuda yang berganti-ganti kepemilikan dan secara bersamaan juga secara tidak langsung mempengaruhi atau setidaknya memberikan kesan kepada para temporary-owners tersebut. Sang kuda juga turut merasakan bagaimana menjadi seorang asing, berperang, hingga kehilangan seorang companion yang telah menemaninya pada hari-hari 'perang' tersebut. Titik kelemahan War Horse bagi saya malah sebenarnya sasaran film ini; this movie was too family-oriented. Terkadang banyak hal-hal yang terasa begitu klise sampai terlalu kebetulan. Joey memang lah seekor kuda yang diberkati keberuntungan terus menerus hingga. Ya karena memang sang kuda memang dimaksudkan sebagai seekor 'miracle' horse. Mungkin karena ekspektasi saya berlebihan terhadap film ini, menginginkan sebuah kisah petualangan yang menegangkan, tetapi saya mendapatkan sebuah film keluarga yang, walaupun tidak buruk-buruk amat, masih menjadi sebuah kekecewaan tersendiri. Pun begitu, saya tidak bisa menyangkal bahwa saya begitu terharu dan terenyuh menyaksikan beberapa adegan dalam film ini. Ada beberapa adegan yang begitu touching dan tepat sasaran untuk membuat kita terharu.
Walaupun dengan kekurangan yang menurut saya masih minor tersebut, sangat tidak mungkin untuk dipungkiri bahwa War Horse adalah film dengan tingkat artisitik yang, sori agak lebay, sangat tinggi. War Horse itu film yang cantik. Tepuk tangan patut diberikan kepada orang-orang production yang memberikan karya terhebatnya dalam film ini (arguably though :p). Ada Janusz Kaminski yang mengambil gambar-gambar indah dengan cinematography yang mantap, Michael Kahn dengan editinya sampai composer legendaris John Williams yang mungkin akan kembali menuai Oscar untuk score-nya yang menawan ini. Berbicara tentang cinematography, mata kita akan dimanjakan dengan begitu banyak gambar-gambar indah scenery Inggris. Ditemani dengan score John Williams yang menyejukkan. Spielberg dan kru-nya berhasil memaksimalkan production value dan membuat War Horse memiliki nilai lebih di antara para saingannya. Walaupun chance untuk film ini semakin lama semakin kecil untuk mendapatkan penghargaan tertinggi Oscar nanti, tetapi sepertinya untuk urusan teknis, War Horse masih mampu diperhitungkan menjadi pemenang. Untungnya.
Ada sebuah trivia menarik yang menyatakan bahwa sampai saat ini tidak ada aktor yang berhasil memenangkan Oscar lewat perannya di film arahan Steven Spielberg. Sebuah fakta yang cukup 'mengejutkkan' mengingat Spielberg adalah sutradara high profile dan 'dekat' dengan Oscar. Fakta tersebut sepertinya juga akan berlanjut tahun ini karena akting terbaik War Horse saya rasa ada pada sang kuda. Bukannya mengatakan pemain-pemainnya buruk, tetapi nobody really stands out in this film. Tokoh-tokoh protagonis mulai dari Jeremy Irvine, Emily Watson sampai Peter Mullan yang sebenarnya screentime nya juga tidak begitu banyak (walaupun masih lebih banyak dibanding dengan aktor-aktor lain) memberikan performa yang so-so. Not good, not bad, dengan kata lain, masih acceptable. Peran-peran lain yang terhitung supporting seperti Benedict Cumberbatch, Eddie Marsan, Niels Arestrup dan masih banyak lagi, masih cukup lah memberikan warna pada War Horse, walaupun kehadirannya tidak begitu memorable. Prospect awards yang paling terdengar mungkin untuk Emily Watson dan Eddie Marsan yang sempat saya baca hangat diperbincangkan, walaupun gaungnya sungguh sangat sangat kecil sekali. Lagipula War Horse was not really an actor-driven film. Sepertinya harus nunggu tahun depan lewat film Spielberg selanjutnya, Lincoln, yang mungkin akan menghadiahkan Daniel Day Lewis Oscar ketiganya, at least the nod.
Overview: Sebagai sebuah sajian epik, menurut saya War Horse kurang mampu unjuk gigi. Ada sajian-sajian adegan perang yang lumayan menghibur tetapi tidak begitu banyak. Sekali lagi, War Horse sepertinya memang memusatkan tentang cerita perjalanan sang kuda perang tersebut, yang menurut saya masih banyak ke-klise-an dan faktor kebetulan. Agak mengganggu sih, tetapi tidak begitu besar impact-nya. Tambahan lelucon-lelucon ringan untungnya menjadi hiburan tersendiri. War Horse layak diapresiasi tinggi lewat sajian teknisnya yang cantik, shot-shot yang indah hingga score yang apik. Jujur, ada rasa kekecewaan ketika menonton film ini. Saya tidak mengatakan War Horse adalah film buruk. Walaupun ada beberapa kelemahan disana-sini, semuanya mampu saya tolerir. Toh memang Spielberg sepertinya membuat film ini lebih sebagai film keluarga yang accesible for all ages. Ada beberapa adegan pula yang membuat saya hampir menitikkan air mata (saking terharu maksudnya). Secara keseluruhan, War Horse adalah film yang indah dan mengharukan. Let's just appreciate it for what it is :)
Review: Sebagai salah satu sutradara paling terkenal di seantero jagad, rasanya bukan sebuah hal yang aneh tentunya ketika saya turut memfavoritkan Steven Spielberg, dan sebagai salah satu sutradara favorit saya, tentunya juga saya tidak sabar untuk menonton film terbarunya ini. Sama dengan tahun 2005 silam, ketika Spielberg memberikan penikmat film double feature lewat blockbuster War of the Worlds (one of his underrated movies, if I might say) serta the-more-serious, Munich, tahun 2011 ini, Spielberg juga menghadirkan dua buah film di tahun yang sama. Setelah sebelumnya saya telah mengulas The Adventures of Tintin (bahkan menaruhnya di Top 10 Films favorit saya tahun lalu), kini giliran War Horse yang akhirnya berkesempatan saya lahap. Di Amerika sana, Tintin dan War Horse dirilis di waktu yang bersamaan, membuat efek back-to-back Spielberg lebih terasa. War Horse diangkat dari sebuah novel karya Michael Morpurgo yang di-publish pertama kali di tahun 1982. Sebelum film ini, War Horse juga sempat diadaptasi menjadi sebuah pertunjukkan teater. Yang bertanggung jawab untuk merealisasikannya ke layar lebar, diutuslah Richard Curtis yang telah menelurkan Four Wedding and a Funeral, Love Actually hingga menulis sitcom Mr. Bean, among other things. Selain Curtis, ada Lee Hall yang sempat menulis film Billy Elliot.
War Horse bercerita cukup sederhana, tentang ikatan batin antara seorang pemuda dengan kuda kesayangannya. Ketika mereka terpisahkan akibat perang (we know it as World War I), maka kita akan diperlihatkan dengan perjalanan sang kuda yang berganti-ganti kepemilikan dan secara bersamaan juga secara tidak langsung mempengaruhi atau setidaknya memberikan kesan kepada para temporary-owners tersebut. Sang kuda juga turut merasakan bagaimana menjadi seorang asing, berperang, hingga kehilangan seorang companion yang telah menemaninya pada hari-hari 'perang' tersebut. Titik kelemahan War Horse bagi saya malah sebenarnya sasaran film ini; this movie was too family-oriented. Terkadang banyak hal-hal yang terasa begitu klise sampai terlalu kebetulan. Joey memang lah seekor kuda yang diberkati keberuntungan terus menerus hingga. Ya karena memang sang kuda memang dimaksudkan sebagai seekor 'miracle' horse. Mungkin karena ekspektasi saya berlebihan terhadap film ini, menginginkan sebuah kisah petualangan yang menegangkan, tetapi saya mendapatkan sebuah film keluarga yang, walaupun tidak buruk-buruk amat, masih menjadi sebuah kekecewaan tersendiri. Pun begitu, saya tidak bisa menyangkal bahwa saya begitu terharu dan terenyuh menyaksikan beberapa adegan dalam film ini. Ada beberapa adegan yang begitu touching dan tepat sasaran untuk membuat kita terharu.
Walaupun dengan kekurangan yang menurut saya masih minor tersebut, sangat tidak mungkin untuk dipungkiri bahwa War Horse adalah film dengan tingkat artisitik yang, sori agak lebay, sangat tinggi. War Horse itu film yang cantik. Tepuk tangan patut diberikan kepada orang-orang production yang memberikan karya terhebatnya dalam film ini (arguably though :p). Ada Janusz Kaminski yang mengambil gambar-gambar indah dengan cinematography yang mantap, Michael Kahn dengan editinya sampai composer legendaris John Williams yang mungkin akan kembali menuai Oscar untuk score-nya yang menawan ini. Berbicara tentang cinematography, mata kita akan dimanjakan dengan begitu banyak gambar-gambar indah scenery Inggris. Ditemani dengan score John Williams yang menyejukkan. Spielberg dan kru-nya berhasil memaksimalkan production value dan membuat War Horse memiliki nilai lebih di antara para saingannya. Walaupun chance untuk film ini semakin lama semakin kecil untuk mendapatkan penghargaan tertinggi Oscar nanti, tetapi sepertinya untuk urusan teknis, War Horse masih mampu diperhitungkan menjadi pemenang. Untungnya.
Ada sebuah trivia menarik yang menyatakan bahwa sampai saat ini tidak ada aktor yang berhasil memenangkan Oscar lewat perannya di film arahan Steven Spielberg. Sebuah fakta yang cukup 'mengejutkkan' mengingat Spielberg adalah sutradara high profile dan 'dekat' dengan Oscar. Fakta tersebut sepertinya juga akan berlanjut tahun ini karena akting terbaik War Horse saya rasa ada pada sang kuda. Bukannya mengatakan pemain-pemainnya buruk, tetapi nobody really stands out in this film. Tokoh-tokoh protagonis mulai dari Jeremy Irvine, Emily Watson sampai Peter Mullan yang sebenarnya screentime nya juga tidak begitu banyak (walaupun masih lebih banyak dibanding dengan aktor-aktor lain) memberikan performa yang so-so. Not good, not bad, dengan kata lain, masih acceptable. Peran-peran lain yang terhitung supporting seperti Benedict Cumberbatch, Eddie Marsan, Niels Arestrup dan masih banyak lagi, masih cukup lah memberikan warna pada War Horse, walaupun kehadirannya tidak begitu memorable. Prospect awards yang paling terdengar mungkin untuk Emily Watson dan Eddie Marsan yang sempat saya baca hangat diperbincangkan, walaupun gaungnya sungguh sangat sangat kecil sekali. Lagipula War Horse was not really an actor-driven film. Sepertinya harus nunggu tahun depan lewat film Spielberg selanjutnya, Lincoln, yang mungkin akan menghadiahkan Daniel Day Lewis Oscar ketiganya, at least the nod.
Overview: Sebagai sebuah sajian epik, menurut saya War Horse kurang mampu unjuk gigi. Ada sajian-sajian adegan perang yang lumayan menghibur tetapi tidak begitu banyak. Sekali lagi, War Horse sepertinya memang memusatkan tentang cerita perjalanan sang kuda perang tersebut, yang menurut saya masih banyak ke-klise-an dan faktor kebetulan. Agak mengganggu sih, tetapi tidak begitu besar impact-nya. Tambahan lelucon-lelucon ringan untungnya menjadi hiburan tersendiri. War Horse layak diapresiasi tinggi lewat sajian teknisnya yang cantik, shot-shot yang indah hingga score yang apik. Jujur, ada rasa kekecewaan ketika menonton film ini. Saya tidak mengatakan War Horse adalah film buruk. Walaupun ada beberapa kelemahan disana-sini, semuanya mampu saya tolerir. Toh memang Spielberg sepertinya membuat film ini lebih sebagai film keluarga yang accesible for all ages. Ada beberapa adegan pula yang membuat saya hampir menitikkan air mata (saking terharu maksudnya). Secara keseluruhan, War Horse adalah film yang indah dan mengharukan. Let's just appreciate it for what it is :)
[B-]
War Horse (2011) | Drama, War | Rated PG-13 for intense sequences of war violence | Cast: Jeremy Irvine, Emily Watson, Peter Mullan, Tom Hiddleston, David Thewlis, Benedict Cumberbatch, Toby Kebbell, Eddie Marsan, Geoff Bell, Patrick Kennedy, Niels Arestrup | Written by: Michael Morpurgo (novel), Richard Curtis, Lee Hall (screenplay) | Directed by: Steven Spielberg
whahahaha Fariz adalah org kesekian yg membuat review seperti ini. Hmpr smua blg okelah untk ditntn tp ga memorable dan too exagerate.
ReplyDeleteReviewnya bgs, hehe sy baca tanpa skimming...menyari pujian buat my 2nd fav actor. Tp sygnya ga ada ;)
Jujur, sy ga akan nntn film ini kalo ga ada si charming Benedict Cumberbatch...krn dia, sy niat nungguin di bioskop...tp br dpt kabar WH ga akan masuk sini, jd nnt cr dvdnya d.
Benedict Cumberbatch cuman dikit bgt, Miss porsinya disini hehe
ReplyDeleteWar Horse emang gak jelek, Miss, tapi gak bagus juga, iya gak jadi diputer disini, jd cari dvd nya aja yg udah bagus :))
War Horse itu memang definisi bagus banget tidak, jelek juga tidak. Mungkin kalau Spielberg bikin film ini versi R rated baru keren kali ya.
ReplyDeletehahaha iyaa pasti perangnya makin keren!
ReplyDeleteGapapa kok Riz...walaupun dikit ttp mau nntn :)
ReplyDeleteSaya sudah resmi jadi Cumberbitch soalnya ;)