
Review: Andrew Stanton mungkin sebelum ini lebih dikenal sebagai animator Pixar yang telah sukses terlebih dahulu dengan film-film masterpiece Disney-Pixar, Finding Nemo (2003) dan Wall-E (2008). Lewat John Carter, Andrew Stanton akhirnya membuat film live-action pertamanya. John Carter memang bisa dikatakan sebagai sebuah gambling besar-besaran. Let's face this, kids nowadays are unfamiliar with the story (count me in). John Carter diadaptasi dari sebuah novel karangan Edgar Rice Burrough (yang juga terkenal karena menciptakan karakter legendaris, Tarzan) bertajuk Princess of Mars. Novelnya sendiri termasuk dalam sebuah seri yang terdiri dari 11 volume dan seri pertamanya di-publish di tahun 1917. Sebuah science-fiction tentang planet Mars yang ditulis jauh sebelum teknologi mampu membawa manusia ke luar angkasa? Jelas banyak hal yang tidak akan mampu dijelaskan science, then again, it's a fantasy story. Dengan ide membawa kisahnya ke layar lebar tertunda bertahun-tahun lamanya, entah mengapa Disney begitu ambisius memberikan Stanton budget sebesar 250 juta dollar untuk debutnya ini. Tetapi Disney juga tidak begitu percaya diri untuk merilis film ini di musim panas dan menaruhnya di bulan Maret yang belakangan ini menjadi bulan 'dark horse' untuk perfilman. Jadi apakah John Carter berhasil menciptakan sensasi sesuai dengan budget dan profile sang sutradara sendiri?
Mungkin ada baiknya kalau kita mulai dari beberapa nilai minus yang saya tangkap dari John Carter. First of all, the story is far too complicated for a children/family's movie. Well at least, that's what I get from the campaigning process. Dengan embel-embel logo Disney (yang lumayan besar dan selalu ada) di tiap posternya, mungkin secara refleks kita akan mengasumsikan film ini adalah film yang ditargetkan untuk anak-anak atau keluarga. Tetapi John Carter memiliki cerita yang menurut saya tidak begitu mudah untuk diikuti, kalau dilihat dari point of view anak-anak. Terlebih lagi, dengan begitu banyak karakter serta sub-plot yang kurang tergali, John Carter terasa tanggung dalam bercerita. Selain kisah masa lalu John Carter yang menjelaskan nasib keluarganya dulu, kita tidak diperlihatkan pula background kisah karakter-karater lain yang, to be honest, bisa lebih menarik dibanding sang titular character. Misalnya karakter sang Princess of Helium, Dejah Thoris (Lynn Collins). Dejah ini sebenernya bisa dibilang seorang putri yang gak hanya kuat, tetapi juga pintar (she -almost- figured out and discovered the secret of nine rays). Atau tentang hubungan Raja Tharks, Tars Tarkhas (Willem Dafoe) dan Sola (Samantha Morton). Belum lagi kalau saya menyinggung the whole concept of the Barsoom myth, ada bangsa Tharks, endless war antara bangsa Helium dan Zodanga sampe hubungan 'Godess' dengan kaum Thern. If you don't understand those terms, coba ditonton dulu ya :-)

Aneh ya sepertinya, dari beberapa hal yang telah saya utarakan di atas tentang kekurangan-kekurangan John Carter, saya tetap mengatakan bahwa film ini tidak jelek-jelek amat, tidak separah yang banyak critics bilang. Bahkan saya keluar dari bioskop dengan perasaan excited jika nanti ada sekuelnya (which I think right now it's doubtful to be made). Selain saya suka dengan keseluruhan cerita nya, in overall, (despite all the inconsistencies and complicated stories), saya juga suka dengan beberapa aspek yang disinggung dalam film ini. Contohnya tentang politik antara dua 'kerajaan', serta hubungannya dengan 'pihak ketiga', apakah perlu mereka mencampuri perang yang secara sekilas tidak ada hubungannya dengan mereka. Dalam film ini diwakili oleh perang antara Helium dan Zondanga. Pihak ketiganya tentu saja bangsa 'alien' Tharks. Selama ini mereka hanya ada di bawah radar dua kubu tersebut, bahkan hanya menyaksikan jika kedua kubu sedang ada clash. Lalu ada pula campuran 'religi' di dalamnya. Lewat bangsa Thern yang disebut sebagai 'messenger of the Godess' serta bagaimana mereka 'mengatur keseimbangan' bangsa di planet Mars tersebut. John Carter sendiri digambarkan sebagai 'a man with no cause', yang bagi saya sedikit menyinggung tentang kepahlawanan.
Overview: Entah karena ekspektasi saya yang rendah atau memang film ini benar-benar bagus, yang pasti saya sangat menikmati John Carter. It's no masterpiece, but it's not a total mess either. Di balik beberapa ketidak-konsisten beberapa point dalam plot, atau betapa ruwet alur ceritanya, John Carter adalah film yang menawarkan sejumlah action yang bagi saya memikat serta menyelipkan jokes yang menambah keseruan film ini. In overall, for an adventure and sci-fi film, Andrew Stanton lewat debutnya ini menurut saya sukses menghadirkan tontonan yang menyenangkan. At least, tidak seburuk yang sebagian kritikus dan moviegoer pikirkan. Saya juga suka dengan hint perang dan politik di dalamnya. After all, it is just a film, moreover, it's a fantasy film based on a science fiction story that was published ages ago. Jadi lupakanlah beberapa hal yang tidak masuk akal. It's a fun movie, and I had a great time watching it. So is it a disappointment? Not at all.
John Carter (2012) | Action, Adventure, Fantasy, Sci-Fi | Rated PG-13 for intense sequences of violence and action | Cast: Taylor Kitsch, Lynn Collins, Samantha Morton, Willem Dafoe, Thomas Haden Church, Mark Strong, Ciarán Hinds, Dominic West | Screenplay by: Andrew Stanton, Mark Andrews, Michael Chabon | Directed by: Andrew Stanton
Yah, omongan kritikus memang bukan untuk patokan apakah film itu bagus atau tidak bro...
ReplyDeleteSatu2nya cara ya buktikan sendiri di bioskop kesayangan anda... :D
Hehe...
Hehe bener memang, tapi seringnya terpengaruh juga sih hahaha
ReplyDelete