
Review: Setelah habisnya serial Harry Potter serta (hampir) Twilight yang memiliki banyak fans terutama kaum remaja, Hollywood seakan berlomba-lomba ingin membuat/mengadaptasi franchise baru yang diharapkan akan memberikan keuntungan serupa. Chronicles of Narnia awalnya memiliki potensi, tapi ujung-ujungnya malah berkurang peminatnya. Eragon dan Percy Jackson menjadi dua contoh franchise-hopefuls yang malah gagal sejak dari film pertama, membuat harapan studio untuk menghidupkan seri-seri berikutnya juga buyar. Tahun ini, giliran Lionsgate yang mencoba peruntungan untuk membuat franchise remaja / young adult baru. Pilihan jatuh kepada trilogi karya Suzanne Collins berjudul The Hunger Games. The Hunger Games, buku pertamanya, dirilis tahun 2008 lalu diikuti oleh Catching Fire (2009) serta Mockingjay (2010). Suzanne Collins ikut pula menulis screenplay unuk film adaptasinya bersama Gary Ross dan Billy Ray. Gary Ross sendiri terpilih sebagai sutradara film pembuka trilogi ini. Ross sebelumnya sempat mengarahkan Pleasantville (1998) dan Seabiscuit (2003). Gary Ross disini memiliki tugas yang cukup besar untuk memastikan bahwa The Hunger Games sukses dan membuat seluruh entry-nya pun juga diberikan 'film treatment'.
The Hunger Games dengan premis tersebut, mungkin selama ini selalu dibandingkan dengan produk jepang bernama 'Battle Royale'. In short, Battle Royale bercerita tentang alternate Jepang dimana para remaja semakin banyak memberontak dan membuat pemerintah Jepang membuat program bernama Battle Royale, dimana satu kelas yang 'beruntung' akan diculik dan diasingkan di sebuah pulau serta mereka harus membunuh satu sama lain sampai hanya satu yang selamat. Serupa kan dengan The Hunger Games? Rebellion juga menjadi satu poin penting di dua film ini. Dimana para remaja pemberontak Jepang menjadi trigger program Battle Royale dan pemberontakan juga menjadi sebab pembuatan Hunger Games. Hunger Games juga di-set untuk mencegah pemberontakan tersebut muncul kembali. Does that make The Hunger Games a rip-off? I beg to differ. Battle Royale pun sebenarnya tidak bisa dibilang sebuah ide yg orisinil. I adore Battle Royale, but Hunger Games also has a great story behind the premise. It tackles serious matters, misalnya tentang brutalnya media (especially televisi) sekarang dan bagaimana penonton pun juga banyak yang menyukainya, lalu tentang sebuah bangsa yang otoriter hingga rasa kemanusiaan, pride hingga sacrifice. Selipan drama dan romantisme juga dibahas disini. Yah mungkin ini yang membedakan keduanya, Hunger Games terasa lebih dramatis serta lebih "soft". Dan sebagai sebuah awal trilogi serta untuk memudahkan para non-reader novelnya, screenplay yang ditulis begitu pas sehingga bisa dengan sangat baik (singkat tapi efektif) dalam memperkenalkan Panem serta Hunger Games itu sendiri.

Mungkin salah satu problem yang agak mengganggu saya ketika menonton film ini adalah penggunaan shaky handheld camera nya. Sebenarnya saya mengerti alasan mengapa Gary Ross memutuskan membuat film ini dengan style tersebut, membuat film ini menjadi terasa lebih nyata. Di beberapa bagian, saya menikmatinya dan menangkap betul maksud dari penggunaan handheld tersebut. Tetapi di beberapa adegan pula, pemakaian tersebut terasa agak memusingkan. Contohnya, pada saat perkelahian Katniss dengan salah satu Tributes bernama Clove. Salah satu teman saya pun sempat menggerutu, 'ini apa yang mau diliat?'. Saya agak setuju dengannya. Untungnya masalah tersebut tidak begitu sering muncul jadi menonton film ini tidak berubah menjadi sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan. Selain camera, saya juga merasa di beberapa adegan agak kurang musik pengiringnya. Ada scene-scene yang menurut saya bisa diperbagus dengan score dibelakangnya, tetapi malah datar. Padahal score bikinan T-Bone Burnett dan James Newton Howard bagus lho. Mungkin hanya dua poin di atas yang saya lihat sebagai minusnya film ini. Ohya, sempat kaget juga ternyata orang-orang di Capitol itu dandanannya mirip Lady Gaga semua ya :p but it really showed the dystopian vibe. Selebihnya, saya menganggap The Hunger Games cukup sesuai dengan ekspektasi saya. Now we have to wait till November 2013 to see the sequel, Catching Fire, hits theater.
Overview: Intense and suspenful, The Hunger Games really is one of the most exciting films so far in 2012 (and probably will be until the end of the year). Memiliki cerita yang lebih dalam dari kelihatannya, film ini juga menawarkan drama dan romantisme remaja yang pas takarannya membuat gabungan faktor tersebut menyeimbangkan thriller dan action yang juga sama-sama memper-seru film ini. Mengetahui dari beberapa temen yang membaca novelnya, ada beberapa perbedaan dari bukunya, but has that always been the case when it comes to adaptation? Saya sebagai non-reader merasa The Hunger Games berhasil menjadi film yang mengasyikkan. It's exciting, sometimes moving, sometimes thrilling, and made me looking forward for its sequel. It's no masterpiece nor flawless, but it was still one hell of a game. Jadi, selamat menonton dan may the odds be ever in your favour!
The Hunger Games (2012) | Action, Drama, Sci-fi, Thriller | Rated PG-13 for intense violent thematic material and disturbing images - all involving teens | Cast: Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Lenny Kravitz, Stanley Tucci, Donald Sutherland | Screenplay by: Gary Ross, Suzanne Collins, Billy Ray | Directed by: Gary Ross
Coba deh baca novelnya, lebih keren lagi sumpah worth it kok
ReplyDeletebro..kalau berkenan pingin tukaran link..main2 jg ke blog ku ya hehe..trims b4
ReplyDeleteIya nih jadi penasaran sama novelnya :) sempet baca beberapa bab awal sih, tapi karena gak sempet jadi gak dilanjutin hehe ntar kalo ada waktu mungkin bakal baca lagi :)
ReplyDelete@novry: sip, salam kenal :D
tentang shaky handheld camera bener banget. pokoknya setuju banget sama reviewnya! may the odds be ever in your favour! :D
ReplyDeleteWah ternyata ada yg setuju juga hehe thanks yaa :))
ReplyDeleteIt's Clove :)
ReplyDeleteLOL, sorry for the mistake, will fix it right away :)
ReplyDeleteWaduh, jadi buah bibir nich film....
ReplyDeleteKetinggalan jaman deh gw... LOL
Sekarang udah nyetak rekor lho jadi opening weekend terlaris sepanjang masa di US, setelah Deathly Hallows pt2 dan Dark Knight!
ReplyDeleteMantap! B+ juga. Masih bingung sama yg cerca THG / nganggep THG jelek. Hohoho.
ReplyDeleteHahaha masalah selera juga mungkin, Dan :) kalo gw sih untungya terpuaskan hehe
ReplyDeleteagak kurang greget di beberapa bagian. ketakutan dari permainan bunuh membunuhnya juga kurang berasa. it's just my opinion :) soalnya novelnya lebih menegangkan
ReplyDeleteYang baca novelnya kebanyakan jg bilang gitu hahaa sayangnya saya blm baca, jadi gak bisa ngebandingin hehe
Delete