Wednesday, December 19, 2012

Review: The Hobbit: An Unexpected Journey (2012)

Plot: Bilbo Baggins (Martin Freeman) adalah seorang hobbit yang tinggal di Shire dan menikmati rutinitas hidup sebagaimana hobbit pada umumnya yang monoton. Suatu hari, Gandalf (Ian McKellen), seorang penyihir, memilihnya untuk membantu sekelompok dwarves yang dipimpin oleh  Thorin Oakenshield (Richard Armitage) dalam usaha mereka mengambil kembali kerajaan tempat mereka berasal dari seekor naga.  Bilbo yang awalnya enggan ikut pun akhirnya menerima tawaran tersebut untuk membuktikan dirinya bukan lah sekedar hobbit pecinta-rumah biasa.

Review: Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran film trilogi The Lord of the Rings (2001-2003) yang diadaptasi dari novel karya JRR Tolkien adalah sebuah fenomena. Kisah fantasi ber-budget besar dengan cerita yang lumayan kompleks tersebut nyatanya laris di pasaran serta meraih puluhan penghargaan, terutama kejadian langka dimana film pamungkasnya, Return of the King (2003) menyapu bersih 11 piala Oscar. Trilogi tersebut melambungkan nama sutradara Peter Jackson, karakter-karakternya menjadi icon pop culture hingga New Zealand lantas menjadi sebuah destinasi liburan baru. Kesuksesan tersebut ternyata masih ingin dilanjutkan ketika Jackson akhirnya mengumumkan akan pula mengadaptasi prekuel dari LOTR, berjudul The Hobbit. An Unexpected Journey ini adalah bab pertama dalam rencana trilogi yang disusun untuk seri film The Hobbit. Ceritanya akan mundur berpuluh-puluh tahun sebelum Frodo dan para fellowship of the ring berjalan menuju Mordor. Hobbit akan berfokus pada Bilbo Baggins, paman Frodo. Lewat sebuah ketidaksengajaan, Bilbo ikut dalam sebuah perjalanan bersama sekelompok dwarves (agak aneh kalo saya sebut kurcaci, translasi literalnya), dan Gandalf, seorang penyihir. Misi mereka adalah untuk merebut kembali kerajaan para dwarves yang sebelumnya direnggut oleh seekor naga bernama Smaug. Bilbo sendiri adalah pilihan Gandalf untuk menjadi 'burglar' dimana Bilbo yang kecil dan supposedly, lebih lincah serta kurang mampu diendus (er is that a word?) oleh sang naga, untuk membantu para dwarves. Tetapi hadirnya orcs yang memiliki dendam dengan Thorin serta munculnya suatu ilmu hitam yang meresahkan membuat perjalanan mereka tidak semudah yang mereka kira.

Dibandingkan dengan Lord of the Rings yang memiliki 3 buah buku, The Hobbit sebenarnya hanya memiliki satu jilid. Itu yang membuat keputusan membagi adaptasi filmnya menjadi 2, dan kemudian menjadi 3 buah, menjadi hal yang cukup absurd. Mungkin Jackson ingin benar-benar mengadaptasi bukunya page by page, tetapi ada kalanya yang saya rasakan ketika menonton adalah film ini terasa bertele-tele di beberapa bagian. Di paruh awal, saya hampir saja tertidur menyaksikan film ini. Mungkin karena saya tidak pernah membaca bukunya, saya tidak menyangka film ini akan se'riang' itu (compared to LOTR). Ada scene-scene yang sepertinya bisa dipersingkat atau bahkan dihilangkan. Jujur saya tidak merasa prolog dengan cameo Frodo itu diperlukan, well boleh lah di-backing dengan alasan untuk mengikat hubungan dengan lanjutannya tersebut. Beberapa humor dan nyanyian membuat Hobbit tidak segelap atmosfir yang diciptakan LOTR. Bahkan teman saya sempat teringat oleh film-film Disney, mungkin karena 'kurcaci' + nyanyi tadi yaa haha. Itu memang bukan sebuah kelemahan, toh katanya memang dalam novelnya juga banyak syair pula. Tetapi ketika adegan aksinya mulai unjuk gigi, Hobbit mulai pula menunjukkan taringnya. Di paruh kedua film ini, yang hampir sebagian besar adalah adegan aksi, saya mulai menempel di kursi dan memasang mata baik-baik, menikmati sajian seru yang ditampilkan di layar. Mulai dari bertemu dengan trio troll, dikejar oleh orcs dan warg nya, hingga ketika rombongan dwarves tersebut terperangkap di sarang goblins. Having said that, beberapa action sequences dalam Hobbit pun sebenarnya agak terasa kurang durasinya. Tanggung dan kurang lama. Aneh juga ya, padahal durasinya 2 jam 45 menit. Sepertinya Jackson dan teman-teman scriptwriter nya kurang berhasil menjalin cerita dengan baik, membuat proporsinya jadi kurang seimbang.

Tetapi highlight film ini bagi saya adalah kemunculan tokoh ikonik Gollum aka Smeagol dan Game of Riddles yang ia mainkan bersama Bilbo ketika keduanya tidak sengaja bertemu di dalam Misty Mountains. Tentunya CGI yang dipakai untuk menghidupkan Gollum jelas lebih bagus dibandingkan sebelumnnya. Gollum has never looked this clear, d'oh. Dan Andy Serkis, tetap membuktikan bahwa ia adalah pilihan yang tepat menjadi karakter itu. And talking about Bilbo, Martin Freeman yang memerankan paman dari Frodo Baggins tersebut benar-benar membawakan perannya dengan baik. Seperti kata para produser, Freeman was born to be Bilbo. Gerak-gerik kikuknya begitu memancing tawa, ekspresinya spot-on serta jelas lebih mudah diberi simpati dibandingkan Frodo hehehe. Lagipula memang film ini berjudul Hobbit kok, yang akan menceritakan perkembangan karakter dari Bilbo itu sendiri. Untuk para kurcaci (lol, I used it), sepertinya Jackson masih kurang mampu memperkenalkan tiap-tiap kurcaci dengan baik. Ya maklum, ada 13. Yang paling saya ingat hanya Thorin (Richard Amitrage) yang menjadi pemimpin kelompok tersebut. Ada nama-nama yang juga saya ingat, tetapi selebihnya mudah dilupakan. Walaupun ada beberapa ciri khas masing-masing dwarf, sayangnya kurang ditonjolkan. Yang ingin kembali bernostalgia, ada Gandalf yang bersahaja yang tetap dimainkan oleh Ian McKellen, raja peri Lord Elrond (Hugo Weaving yang tampil lebih santai), Galadriel (Cate Blanchett yang menawan) serta Saruman the White (Cristopher Lee yang entah mengapa keliatan lesu sekali haha).

Jackson menggunakan sebuah teknologi bernama high frame rate (HFR) dalam menyunting Hobbit. Dengan kecepatan 48 frames per second (film lain rata-rata hanya 24 frames per second), Hobbit dimaksudkan Jackson untuk memberikan gambar yang terasa lebih real dan lebih high-definition. Saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang teknis HFR, karena memang saya tidak mengerti secara detil. Tetapi saya merasa adanya mixed feelings ketika menonton dengan format itu. Terkadang film ini terkesan cheap dan palsu, seakan saya menonton film-film televisi (dan katanya sih memang teknologi 48fps ini sudah sering digunakan untuk acara tv). Dan entah apa mungkin ini salah dari projector dalam teater bioskopnya atau efek 48fps itu sendiri, di beberapa bagian pula, gerak-gerik para tokoh terkesan seperti di fast forward. Pun begitu, saya tidak benci dengan teknologi ini. Untuk adegan-adegan tertentu, terutama adegan aksinya, gambar yang terlihat terkesan luar biasa indah. No, I'm not exaggerating. They were GORGEOUS. Halus, dan memang terlihat lebih real. Angle-angle yang dipakai pun sesuai dengan intention Jackson yang ingin memberikan sensasi high definition memukau.  Saya mengerti apa yang divisikan oleh Jackson untuk menggunakan HFR. Dan namanya juga baru pertama kali, mungkin masih belum sempurna. Well to be honest I can see that this is the future of cinema, despite the negative reviews. But what do I know? Karena bagi saya kalau dipakai dengan tepat, teknologi ini bisa membuat pengalaman menonton jadi lebih baik. Hanya masalah selera dan penyesuaian saja sih.

Overview: For some, this might be a 'welcome back' greetings to Middle Earth from Peter Jackson. Memang bagi yang sudah familiar dengan Lord of the Rings bisa merasakan nostalgia dengan setting dan beberapa karakter yang dulu menyapa kita pada salah satu trilogi terbaik sepanjang masa itu. Tapi as a film, The Hobbit: An Unexpected Journey mungkin agak terlalu ambisius. Ada hal-hal yang sepertinya perlu untuk dipotong dan bisa mengoptimalkan lagi adegan action-nya. Lagipula cerita film ini tidak kompleks-kompleks banget. I wish it was shorter, and it would be a great start of a new saga. Ceritanya yang agak terlalu di-stretch sebenarnya bisa dimaafkan lewat beberapa adegan yang cukup thrilling dengan bantuan teknologi yang juga memadai + penampilan dari sang karakter utama. It's not a perfect film, moreover, a downgrade to its predecessor. Tapi as a stand alone film, bagi saya film ini sudah sangat cukup lah untuk menghibur. Despite the flaws, I had fun watching it. And let's just leave it at that and start waiting for the next chapters, shall we?

The Hobbit: An Unexpected Journey (2012)| Fantasy | Rated PG-13 for extended sequences of intense fantasy action violence, and frightening | Cast: Martin Freeman, Ian McKellen, Richard Armitage, Cate Blanchett, Hugo Weaving, Christopher Lee,  Sylvester McCoy, Andy Serkis, Lee Pace | Screenplay by: Fran Walsh, Philippa Boyen, Peter Jackson, Guillermo del Toro | Directed by: Peter Jackson

2 comments:

  1. om.. tulisannya jgn dicampur pake bhs inggris donk, itu terkesan menunjukkan kalau agan pintar bhs inggris, tapi kan tulisannya jd sulit dimengerti.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih masukannya :) bukannya bermaksud sombong, tetapi memang bagi saya ada bbrp hal yg terkadang lebih enak saya ekspresikan pake bhs inggris. saya masih jauh dari jago kok dalam bhs inggris, disini jg tempat saya belajar nulis bhs inggris jadinya hehe sekali lg terima kasih masukannya,akan saya jadikan bahan pertimbangan ke depannya :)

      Delete