Saturday, December 29, 2012

Review: The Perks of Being a Wallflower (2012)

Plot: Charlie Kelmeckis (Logan Lerman) has always been an introvert person. Hari-hari awal di masa SMA-nya sebagai seorang freshman dilalui tanpa adanya seorang teman. Hingga akhirnya ia berkenalan dengan seorang senior, Patrick (Ezra Miller) dan saudara tirinya, Sam (Emma Watson) yang merubah hidupnya.

Review: Stephen Chbosky is one lucky author. Tidak hanya bukunya yang berjudul The Perks of Being a Wallflower yang dirilis tahun 1999 mendapat beberapa accolades, Chbosky sendiri juga mendapat tawaran untuk mengadaptasinya ke layar lebar. Tak hanya menulis ulang menjadi screenplay, tetapi turut duduk di kursi sutradara; sebuah hal yang sangat langka terjadi, considering Chbosky didn't really have an experience before in this area. And fortunately for us, Chbosky really nailed this adaptation. The Perks of Being a Wallflower adalah sebuah coming of age film dimana Charlie, sang karakter utama menghadapi salah satu fase terbesar dalam hidupnya: high school. Wallflower sendiri adalah sebuah ungkapan yang mengacu pada orang-orang pemalu dan kurang aktif dalam aktifitas sosial. Charlie selama ini memiliki masalah dalam bergaul, begitu juga pasif dalam pelajaran, despite the fact that he's pretty smart and really likes to read. Pada hari pertamanya ia hanya 'berteman' dengan sang guru bahasa Inggris, Mr. Anderson (Paul Rudd). Charlie pun enggan menceritakan kekhawatirannya tersebut kepada ayahnya (Dylan McDermott) dan ibunya (Kate Walsh) bahkan sang kakak perempuan yang juga senior di sekolah mereka, Candance (Nina Dobrev). Charlie kemudian mulai berteman dengan Patrick, seorang senior yang memiliki satu kelas yang sama dengan Charlie. Lewat Patrick, Charlie pun berkenalan dengan Sam, saudara tirinya serta Mary Elizabeth (Mae Whitman), Brad (Johnny Simmons) serta Alice (Erin Wilhelmi). With that group of friends, Charlie then slowly learned to be a 'normal' high school kid dealing with the real world.

Mungkin kalau secara overall, film ini akan terdengar cukup klise. Well, actually it is. Tetapi bagaimana Chbosky menggambarkannya secara real dan honest membuat film ini menjadi lebih spesial. The reason why I love this film is how it made me feel. Moreover, how it reminded me of my high school and how *it* made me feel. The anxiety, the fear, the little depressions we had once in a while and also the thrill. Film ini akan membuat kita seperti masuk ke dalam tubuh Charlie dan melihat dunia dalam perspektifnya. Saya mungkin memang tidak mengalami hal-hal yang dialami oleh para karakter utama, but somehow, this film just clicked. Dan Chbosky benar-benar memberikan potret high school secara universal; bagaimana Charlie berusaha untuk fit in, lebih aktif di sekolah dan dalam hidupnya in general, lebih open minded hingga berusaha melawan masa lalunya. Film ini memiliki sejumlah momen-momen uplifting dan cukup memorable. Favorit saya jelas ketika Charlie ikut berdansa dengan Patrick dan Sam dalam Homecoming Dance. Kita bisa melihat bagaimana Charlie terlihat mencoba untuk 'break every rule he has' in order to fit in and be close with them. Lewat gerak-gerik canggungnya, kita melihat kecemasan dalam dirinya. Will they accept him? Or he's just making fool of himself? Atau ketika mereka mengendarai mobil melewati terowongan sambil menikmati lagu yang disetel begitu kencang. Benar-benar menyimbolkan suasana euforia remaja dengan baik. At that moment, they felt like there's nothing wrong in their world. They have a future ahead of them. Or as Charlie said, they felt the are infinite.

Film ini juga mengangkat isu-isu seperti bullying, homosexual (dan homophobia) atau masalah klasik seperti sex, drug, your first crush and relationship serta graduation dan where to go after high school. Salah satu advantage yang dimiliki Chbosky untuk membuat film ini adalah ia mengerti betul bagaimana menjaga sisi sentimental dan introspektif yang tertuang dalam bukunya dan menghidupkannya dalam bahasa film. Tanpa secara eksplisit memberitahu kita bahwa film ini di-set di sekitar dekade 90an, film ini juga dengan sukses menggambarkan suasana zaman tersebut. Baik melalui pakaian ataupun musik yang diatur secara pas. Bagaimana para remaja berinteraksi juga. Lihat bagaimana mereka saling bertukar kaset mixtape untuk bisa saling mendengar lagu instead of just USB or even CDs. Hal itu juga mampu men-trigger sisi nostalgia (I used to make mixtapes, too!). Serta ketika mereka juga menjadi 'hipsters' dengan mendengarkan musik-musik retro atau alternatif (The Smiths, etc) instead of the current Top 40s juga membuat film ini seperti yang saya bilang, universal. We also (try to) do that too, no?

Keberhasilan Chbosky mengadaptasi bukunya menjadi film tak luput juga dari bantuan ketiga aktor utama yang benar-benar tampil gemilang dalam film ini. Dan mereka bertiga juga menghadirkan chemistry yang luar biasa hangat. Mungkin di awal saya agak ragu bagaimana karakter seperti Charlie bisa 'hang out' dengan Patrick ataupun Sam. "Welcome to the island of misfit toys", sahut Sam ketika menyambut Charlie dalam gengnya. Ketika itu saya menyadari bahwa di balik keceriaan Patrick dan Sam, mereka juga memiliki insecurities dalam diri mereka. Patrick dengan orientasi seksualnya serta Sam dengan masa lalu yang ingin ia lupakan, sebagaimana juga dengan Charlie, yang seiring film berjalan, pengalaman pahitnya juga mulai terbongkar. Logan Lerman mampu membawa film ini lewat akting yang top notch. Kita akan menyaksikan sisi awkward dan pemalu yang kemudian akan bertransformasi menjadi lebih percaya diri dan sedikit hint of psychotic pada beberapa key scenes. Emma Watson dengan aksen Amerika yang lancar mampu menampilkan sisi yang menawan sekaligus fragile dalam karakter Sam, yang akhirnya membuatnya (bagi saya) bisa keluar dari image Hermione yang telah melekat pada dirinya. And Ezra Miller is just like an icing on a cake. Di balik keceriaan dan keliaran karakter Patrick yang dengan begitu baik ia pancarkan, Miller juga mampu memberikan sebuah penampilan yang heartwrenching. Cast pendukung lainnya (even sometimes a bit underused) juga bagi saya berhasil membawakan peran mereka dengan baik.

Overview: The Perks of Being a Wallflower felt really really right. I'm not saying this film is free of flaws, it has a few, of course, just like many films out there. But I think the way this film being presented and how it made me feel make this film touched me in so many ways. Film ini mengajak kita mengikuti perjalanan Charlie, seorang remaja yang awalnya pemalu yang kemudian mulai belajar untuk live his life and cope with his past. Dan lewat apa yang menimpanya, we can't help to wish good things for him and hope him (and also us) to become a better person. Sebuh film coming-of-age yang dibuat dengan begitu precise oleh sang penulis novelnya sendiri plus penampilan gemilang ensemble cast-nya. Hasilnya ternyata begitu bittersweet, in the best way possible. I am certain that I'm going to revisit this film over and over again. This is a timeless film and of course, one of the best of 2012.

The Perks of Being a Wallflower (2012) | United States | Drama, Romance | Rated PG-13 on appeal for mature thematic material, drug and alcohol use, sexual content including references, and a fight - all involving teens | Cast: Logan Lerman, Emma Watson, Ezra Miller, Mae Whitman, Johnny Simmons, Kate Walsh, Dylan McDermott, Melanie Lynskey, Zane Holtz, Nina Dobrev, Paul Rudd | Written and directed by: Stephen Chbosky

10 comments:

  1. nice review! udah lama pengen nonton tapi belum sempet2 -,-

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Nice review! This movie reminds me of Almost Famous. Ada satu pertanyaan yang tertahan di pikiran saya setelah menonton film ini, what did aunt helen do to him?

    ReplyDelete
    Replies
    1. [SPOILER] kalo berdasarkan bukunya sih dia sexually abuse Charlie..

      Delete
  4. ooh jadi begini toh ceritanya!
    teman blogger br sy menjadikan film ini sebagai the best 2012, tp dia ga nulis review jd bnr2 buta ttg apa.

    cukup menarik ceritanya...ntar cari d. Thanks for the lovely review Fariz :)

    ps. hehe baca soal tuker2 kaset, film seri British yg lagi saya gilai saat ini juga hobi bgt pk kaset pdhl settingnya di jaman yg dah berMP3 ria (info ga penting tp emang lg seneng aja ngomongin Mighty Boosh ;p )

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya saya juga suka bgt sama film ini, mungkin posisi nya di list saya bakal sama (spoiler) hehe

      Delete
  5. Pasti akan nyari film ini, thank you so much Riz, kayaknya film ini juga bakal clicked di gue deh. :,))

    ReplyDelete
  6. A good good movie. Lengkap dah dalamnya. Ibarat makanan, tetap enak walaupun dicampur baur karena dari bahannya juga sudah enak. Banyak pesan dan kritik moral di dalamnya. Mata saya jadinya terus melek meski nontonnya dini hari. :). Btw, ini film Inggris ato Amrik to?

    ReplyDelete