Plot: Film ini dibuka pada perayaan ulang taun ke-75 Hélène (Edith Scob) di rumahnya. Ia mengundang ketiga anaknya yang sudah memiliki keluarga dan pekerjaan masing-masing; Frédéric (Charles Berling) adalah anak tertua dan satu-satunya yang tinggal di Perancis, memiliki seorang istri, 2 anak remaja dan ia bekerja di bidang ekonomi; Jérémie (Jérémie Renier), tinggal bersama istri dan anak-anaknya di China dan bekerja di pabrik sepatu Puma; dan Adrienne (Juliet Binoche), modern designer yang tinggal di New York, Amerika. Hélène selama hidupnya menjaga barang-barang karya dan koleksi pamannya yang sangat ia kagumi. Ia juga menyadari bahwa dengan umurnya yang sudah 75, ia tidak akan bertahan lama lagi. Selang beberapa waktu, Hélène meninggal dunia, meninggalkan rumahnya dan koleksi-koleksi seni yang mostly milik pamannya. Kini, ketiga anaknya lah yang harus menentukan; disimpan atau dijual?
Review: Film yang disutradrai dan ditulis juga oleh Olivier Assayas ini adalah film produksi Perancis yang berjudul asli L'Heure d'été. Sebagai seorang yang sangat awam, gw hanya mengenal nama Olivier Assayas lewat filmnya, Carlos, miniseries yang dirilis tahun lalu dan banyak muncul di beberapa list kritikus film serta memenangkan Best Miniseries or Motion Picture Made for Television di ajang Golden Globe. Sampai saat ini pun gw masih belum menonton Carlos. Sebagai seorang yang juga sangat asing dengan karya Assayas, dan gw yakin akan sangat sulit dicari filmnya di Indonesia (uhuk apalagi di Surabaya), sungguh suatu kesempatan yang menyenangkan bisa menikmati film ini. Summer Hours sendiri pertama kali gw tau keberadaannya adalah di situs tutorial membuat poster film (karena salah satu poster film ini ternyata adalah retouch dari beberapa gambar filmnya)
Plot yang ditawarkan oleh Summer Hours sebenarnya bisa ditulis dengan sangat singkat. Inti cerita film ini memang tidak perlu dijelaskan panjang lebar untuk dapat dimengerti. Summer Hours bertumpu pada naskahnya yang terlihat sangat natural. Menonton film ini sedikit mengingatkan gw pada Before Sunrise / Sunset yang juga berisi pada dialog-dialog alami yang dilontarkan oleh pemain-pemainnya. Script yang dibuat Olivier Assayas sungguh mengesankan. Assayas dengan brilliannya menyisipkan beberapa chit-chat yang menyinggung beberapa statement tentang kehidupan keluarga tersebut. Hal-hal tersebut, sebagai mana kehidupan nyata, dibicarakan tidak berlebihan dan sangat casual. Misalnya saja diskusi anak-anaknya mengenai hubungan 'sebenarnya' antara ibu mereka dan pamannya, atau ketika Adrienne mengumumkan ia akan kembali menikah (ekspresi tertawa kakak-kakanya malah tidak terasa seperti cemoohan, tapi sebagai sebuah rasa sayang, aneh gak tuh? haha) atau pekerjaan mereka masing-masing. Hal-hal yang terkesan penting dan krusial untuk memberikan sebuah 'bumbu' tambahan pada drama ini dituturkan secara singkat, bahkan seperti obrolan biasa. Ini membuat Summer Hours terlihat seperti sebuah dokumenter, atau at least, docu-drama.
Secara garis besar menurut gw, Summer Hours menitiberatkan sama yang namanya 'moving on' dan ditampilkan dalam sebuah keluarga besar yang mapan. Pertama, tentu kematian Helene yang tiba-tiba. Ketiga anaknya tentu sedih, walaupun gak lebay-lebay banget dipertontonkan (nice). Itu mungkin bisa disangkutpautkan kalo mereka semua juga udah punya keluarga baru masing-masing. Lanjut lagi ketika dilema mau diapain rumah ibu mereka beserta isi-isinya. Helene sebelumnya ingin Frederic menjual semuanya, karena baginya ketika ia mati, dia tidak akan peduli apa yang terjadi pada benda-benda tersebut, mengetahui bahwa anak-anaknya juga tidak terlalu attached dengan koleksi pamannya. Hal yang sepertinya tidak ingin dilakukan Frederic karena ia tidak ingin kenangan semasa kecilnya hilang begitu saja. Sayangnya kedua adiknya tidak merasakan hal yang sama dengan alasan finansial pula. Fase perubahan 'zaman kuno' dan 'modern' juga ikut disinggung disini. Seperti Adrienne yang lebih menyukai design modern atau masalah globalisasi Amerika yang ikut 'diderita' anak-anak Jeremie. Terakhir tentu kontras antara rumah Helene yang sebelumnya sepi lalu untuk terakhir kalinya dipakai oleh anak Frederic dalam sebuah pesta weekend bersama teman-temannya yang rame dan.. ya, taulah anak muda kayak gimana. #sotoy
Selain naskah, yang paling mendukung dari film ini menurut gw adalah pergerakkan kamera yang diatur oleh Eric Gautier. Bersama Assayas, sepertinya mereka berdua berhasil menangkap gambar-gambar yang efektif dan pas banget momennya. Menyorot jelas gerak-gerik masing-masing karakter, hingga terkadang hanya melihat mereka berekspresi ataupun beraktifitas, kita bisa mengerti maksud emosi dan perasaan mereka saat itu. Jelas itu juga dibantu oleh permainan yang apik oleh para aktor-aktornya. Selain Juliette Binoche, sebenernya gw asing dengan nama-nama lain sih, tapi akting mereka bener-bener convincing dan believeable. Musiknya memang tidak terlalu banyak terdengar disini, tetapi ketika digunakan, enak juga didengerin.
Overview: True to its title, Summer Hours benar-benar memberikan sebuah pancaran kehangatan layaknya musim panas. Bukan saja tone warna yang adem, tetapi film ini juga menyuguhkan gambaran sebuah keluarga yang realistis. Tidak sempurna, tetapi masih terlihat bahwa mereka mencintai satu sama lain. Ditambah lagi, Olivier Assayas tidak sembarangan menulis naskah Summer Hours hingga film ini tidak jatuh ke jurang melodramatis ataupun kelewat sentimentil. Come to think about it, Summer Hours terisi dengan berbagai macam masalah, walaupun beberapa hanya sedikit disinggung, tetapi film ini tidak lantas berujung ke sebuah disaster yang amburadul. Apapun point of view maupun sentilan-sentilan issue yang dipaparkan dalam film ini, Summer Hours pada intinya adalah sebuah film tentang satu hal: keluarga. Masih inget gak sama kampanye Oscar film TKS kemaren yang memakai slogan: "Some movies you watch, others you feel." Bagi gw, Summer Hours masuk ke dalam 2 kategori tersebut.
Review: Film yang disutradrai dan ditulis juga oleh Olivier Assayas ini adalah film produksi Perancis yang berjudul asli L'Heure d'été. Sebagai seorang yang sangat awam, gw hanya mengenal nama Olivier Assayas lewat filmnya, Carlos, miniseries yang dirilis tahun lalu dan banyak muncul di beberapa list kritikus film serta memenangkan Best Miniseries or Motion Picture Made for Television di ajang Golden Globe. Sampai saat ini pun gw masih belum menonton Carlos. Sebagai seorang yang juga sangat asing dengan karya Assayas, dan gw yakin akan sangat sulit dicari filmnya di Indonesia (uhuk apalagi di Surabaya), sungguh suatu kesempatan yang menyenangkan bisa menikmati film ini. Summer Hours sendiri pertama kali gw tau keberadaannya adalah di situs tutorial membuat poster film (karena salah satu poster film ini ternyata adalah retouch dari beberapa gambar filmnya)
Plot yang ditawarkan oleh Summer Hours sebenarnya bisa ditulis dengan sangat singkat. Inti cerita film ini memang tidak perlu dijelaskan panjang lebar untuk dapat dimengerti. Summer Hours bertumpu pada naskahnya yang terlihat sangat natural. Menonton film ini sedikit mengingatkan gw pada Before Sunrise / Sunset yang juga berisi pada dialog-dialog alami yang dilontarkan oleh pemain-pemainnya. Script yang dibuat Olivier Assayas sungguh mengesankan. Assayas dengan brilliannya menyisipkan beberapa chit-chat yang menyinggung beberapa statement tentang kehidupan keluarga tersebut. Hal-hal tersebut, sebagai mana kehidupan nyata, dibicarakan tidak berlebihan dan sangat casual. Misalnya saja diskusi anak-anaknya mengenai hubungan 'sebenarnya' antara ibu mereka dan pamannya, atau ketika Adrienne mengumumkan ia akan kembali menikah (ekspresi tertawa kakak-kakanya malah tidak terasa seperti cemoohan, tapi sebagai sebuah rasa sayang, aneh gak tuh? haha) atau pekerjaan mereka masing-masing. Hal-hal yang terkesan penting dan krusial untuk memberikan sebuah 'bumbu' tambahan pada drama ini dituturkan secara singkat, bahkan seperti obrolan biasa. Ini membuat Summer Hours terlihat seperti sebuah dokumenter, atau at least, docu-drama.
Secara garis besar menurut gw, Summer Hours menitiberatkan sama yang namanya 'moving on' dan ditampilkan dalam sebuah keluarga besar yang mapan. Pertama, tentu kematian Helene yang tiba-tiba. Ketiga anaknya tentu sedih, walaupun gak lebay-lebay banget dipertontonkan (nice). Itu mungkin bisa disangkutpautkan kalo mereka semua juga udah punya keluarga baru masing-masing. Lanjut lagi ketika dilema mau diapain rumah ibu mereka beserta isi-isinya. Helene sebelumnya ingin Frederic menjual semuanya, karena baginya ketika ia mati, dia tidak akan peduli apa yang terjadi pada benda-benda tersebut, mengetahui bahwa anak-anaknya juga tidak terlalu attached dengan koleksi pamannya. Hal yang sepertinya tidak ingin dilakukan Frederic karena ia tidak ingin kenangan semasa kecilnya hilang begitu saja. Sayangnya kedua adiknya tidak merasakan hal yang sama dengan alasan finansial pula. Fase perubahan 'zaman kuno' dan 'modern' juga ikut disinggung disini. Seperti Adrienne yang lebih menyukai design modern atau masalah globalisasi Amerika yang ikut 'diderita' anak-anak Jeremie. Terakhir tentu kontras antara rumah Helene yang sebelumnya sepi lalu untuk terakhir kalinya dipakai oleh anak Frederic dalam sebuah pesta weekend bersama teman-temannya yang rame dan.. ya, taulah anak muda kayak gimana. #sotoy
Selain naskah, yang paling mendukung dari film ini menurut gw adalah pergerakkan kamera yang diatur oleh Eric Gautier. Bersama Assayas, sepertinya mereka berdua berhasil menangkap gambar-gambar yang efektif dan pas banget momennya. Menyorot jelas gerak-gerik masing-masing karakter, hingga terkadang hanya melihat mereka berekspresi ataupun beraktifitas, kita bisa mengerti maksud emosi dan perasaan mereka saat itu. Jelas itu juga dibantu oleh permainan yang apik oleh para aktor-aktornya. Selain Juliette Binoche, sebenernya gw asing dengan nama-nama lain sih, tapi akting mereka bener-bener convincing dan believeable. Musiknya memang tidak terlalu banyak terdengar disini, tetapi ketika digunakan, enak juga didengerin.
Overview: True to its title, Summer Hours benar-benar memberikan sebuah pancaran kehangatan layaknya musim panas. Bukan saja tone warna yang adem, tetapi film ini juga menyuguhkan gambaran sebuah keluarga yang realistis. Tidak sempurna, tetapi masih terlihat bahwa mereka mencintai satu sama lain. Ditambah lagi, Olivier Assayas tidak sembarangan menulis naskah Summer Hours hingga film ini tidak jatuh ke jurang melodramatis ataupun kelewat sentimentil. Come to think about it, Summer Hours terisi dengan berbagai macam masalah, walaupun beberapa hanya sedikit disinggung, tetapi film ini tidak lantas berujung ke sebuah disaster yang amburadul. Apapun point of view maupun sentilan-sentilan issue yang dipaparkan dalam film ini, Summer Hours pada intinya adalah sebuah film tentang satu hal: keluarga. Masih inget gak sama kampanye Oscar film TKS kemaren yang memakai slogan: "Some movies you watch, others you feel." Bagi gw, Summer Hours masuk ke dalam 2 kategori tersebut.
Summer Hours / L'heure d'été (2008) | Drama, Family | Cast: Juliette Binoche, Charles Berling, Jérémie Renier, Edith Scob, Dominique Reymond, Valérie Bonneton, Isabelle Sadoyan, Kyle Eastwood | Written and directed by: Olivier Assayas
No comments:
Post a Comment