Wednesday, August 17, 2011

Quick Reviews pt.4: I'm feeling Indonesia!

17 Agustus 2011. Hari ini resmi, negara Indonesia berumur 66 tahun. Memang, di umur yang sudah tidak muda lagi ini, Indonesia masih saja memiliki masalah-masalah yang sepertinya sangat sulit untuk diselesaikan. Saking bobroknya, terkadang miris melihat negara yang katanya kaya ini ternyata masih terpuruk di berbagai sisi. Tetapi dengan semangat beberapa orang yang masih percaya bahwa Indonesia bisa maju, gw bisa sedikit optimis. Nah, merujuk ke blog ini, banyak yang sering mengatakan bahwa kok jarang banget ya gw nonton/review film Indonesia. Jawabannya sih simple; terlalu sering dikecewakan, jadi agak males untuk mencoba lagi. Tetapi setelah menonton 3 film dibawah ini, gw jadi punya secercah harapan lebih terhadap film-film di tanah air. Ada film dari sutradara pionir Indonesia yang tak lelah memberikan pembelajaran pada film-filmnya, ada juga yang menggebrak dengan genre yang berbeda dan satu lagi film yang membuat gw sangat yakin bahwa film Indonesia akan kembali bersinar di masa yang akan datang. Sebelum menyimak reviewnya, cuman pengen ngucapin; dirgahayu Indonesia yang ke-66, MERDEKA!!


"3 Hari Untuk Selamanya"
(Riri Riza, 2007)
Plot: Dua orang sepupu, Yusuf (Nicolas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Jogjakarta melalui jalan darat untuk menghadiri pernikahan kakak kandung Ambar. Selama perjalanan, mereka mengalami banyak detour yang membuka mata mereka terhadap satu sama lain.

Review: Gw akan selalu mengingat duo Riri Riza dan Mira Lesmana sebagai dua orang penyelamat dunia perfilman Indonesia. Tidak hanya mereka membawa kembali penonton anak-anak beserta keluarga ke bioskop tanah air lewat Petualangan Sherina di tahun 2001, mereka juga turut ambil bagian dalam kesuksesan Ada Apa dengan Cinta di tahun berikutnya. Over the years, usaha mereka untuk menghadirkan tontonan yang mendidik dan berkualitas semakin banyak. Di tahun 2007, agak keluar dari ranah 'aman' yang biasa diusung, mas Riri dan mbak Mirles mencoba untuk menggambarkan realita pergaulan dan juga kegaulan remaja ibukota yang sebenernya. Film ini termasuk berani dalam menampilkan scene-scene yang saat itu jarang ditampilkan dalam film nasional. Memang tidak terlalu explicit, tetapi cukup membuat para bioksop memberikan larangan untuk penonton dibawah 18 tahun menonton film ini. 3 Hari untuk Selamanya secara gamblang memberikan problematika tentang mimpi, pribadi hingga pandangan masa depan dua orang remaja yang diiringi oleh smoke, sex and drugs. Walaupun tidak begitu pas buat gw, tetapi gaya road movie yang ditawarkan lumayan menarik. Dari sini juga sudah terlihat betapa gigihnya duo ini memperlihatkan bahwa film Indonesia itu settingnya gak hanya di Jakarta lhoo. (***1/2)


"Kala"
(Joko Anwar, 2007)
Plot: Di sebuah kota yang tidak disebutkan namanya, Janus (Fachri Albar) seorang wartawan dengan penyakit aneh dimana ia akan tertidur jika perasaannya terlalu senang atau takut, tengah meliput suatu kasus. Tanpa sengaja ia mendengar sebuah gumamam dalam tape recorder-nya yang merujuk pada sebuah tempat. Dari situ ia terbawa dalam sebuah pencarian harta karun legendaris dan petualangan mematikan yang telah tersembunyi turun temurun.

Review: WOOOW. Just WOOW yang mampu gw katakan mengenai film ini. My God, gak pernah gw membayangkan seorang sineas Indonesia mampu membuat film sebagus ini. Sori ya memang gw sangat asing dan jarang nntn film Indonesia mungkin. Tapi Kala atau judul internasionalnya, Dead Time, adalah sebuah film yang luar biasa detail. Joko Anwar selaku penulis dan sutradara memang terpengaruh film-film noir western ketika membuat film ini. Terlihat jelas dengan sentuhan art direction-nya yang cool banget. Tetapi hasilnya gak jadi kampungan, malah sebuah produk art yang jarang gw temui dalam film Indonesia. Pinternya lagi, Joko Anwar mengangkat sebuah cerita yang didasari oleh mitologi dari negri kita sendiri, which is ramalan Jayabaya tentang Ratu Adil dsb. Joko Anwar juga dengan sarkastiknya menyisipkan beberapa hal-hal tentang bobroknya sistem sosial yang terjadi di ibukota. Walaupun dalam film ini settingnya sebagai kota yang tidak disebutkan namanya, tetapi sebenernya sudah jelas kok menggambarkan kota apa hehe at least itu lah yg gw tangkep. Anyway, penggunaan art direction maupun cinematography dalam film ini berada sangat sangat tinggi di atas standar film Indonesia pada umumnya. Sebuah karya yang ambisius dan artistik, Kala menurut gw adalah salah satu film Indonesia modern terbaik yang pernah gw tonton. Bravo, bang Joko, bravo. (****)


"Fiksi."
(Mouly Surya, 2008)
Plot: Alisha (Ladya Cheryl), putri seorang businessman kaya selama ini memiliki hidup yang monoton, terperangkap dalam rumah nya yang megah. Suatu hari, seorang handyman yang bekerja di rumahnya bernama Bari (Donny Alamsyah) mencuri perhatiannya. Obsesi Alisha terhadap Bari berlanjut sampai ia akhirnya ikut tinggal menjadi tetangga di rumah susun yang Bari tempati.

Review: Lagi-lagi ada nama Joko Anwar disini, sebagai penulis naskah. Dalam menulis script ini, Joko Anwar mungkin memang terkesan sedikit terpengaruh dengan film-film thriller Barat atau film-film thriller Korea, tetapi hal itu bukan hal yang buruk kan? Fiksi memiliki kesan tersendiri bagi gw, mungkin karena tema yang diungkap begitu dekat tetapi begitu absurd pula. Mengambil setting di rumah susun menjadi sebuah keistimewaan tersendiri dengan sejumlah drama pada penghuni-penghuninya. Mouly Surya selaku sutradara Fiksi mengatakan bahwa ini adalah sebuah dongeng Alice in Wonderland yang dibalik. Kalo Alice terperangkap dalam dunia fantasi, Alisha keluar dalam dunia fantasinya ke sebuah dunia bernama 'realita'. Dan apa yang didapat? Ternyata dunia nyata sama gila nya dengan dunia fantasi. Trauma yang menghantuinya juga menjadi sebuah trigger yang membuat ia melakukan hal yang ia lakukan, memberikan "ending" kepada orang-orang yang ia temui. Walaupun gw agak merasa film ini terlalu 'staged' dan terlalu kaku, tapi the fact that FFI gave this movie its highest trophy membuat gw salut karena memang publik dan kritik Indonesia sudah bisa menerima film-film dengan genre yang menggebrak seperti ini. Semoga kedepannya lebih banyak lagi film-film sejenis! (***)

Walaupun hanya tiga film itu aja yang baru-baru ini gw tonton, melihat kualitas ketiganya membuat gw makin pengen mencoba-coba film nasional yang lain. Masih banyak rasanya film-film Indonesia berkualitas yang belum gw jajal. Selagi menunggu referensi, yuk tetep doain perfilman Indonesia jadi semakin maju. Bravo perfilman Indonesia, MERDEKA!

2 comments:

  1. Dari dulu mau nonton 3 Hari Untuk Selamanya gak jadi2. Haha. Btw, Hari Untuk Amanda bagus jg loh :)

    ReplyDelete
  2. haha iya malah saya lupa mulu mau nyari Hari untuk Amanda, nanti dicari ah, thank you sarannya :)

    ReplyDelete