Monday, January 23, 2012

Review: The Artist (2011)

Plot: Hollywood, akhir dekade 20-an, seorang aktor film bisu (silent films), Guy Valentin (Jean Dujardin) sedang di puncak karirnya. Film-filmnya sukses serta pribadinya disukai oleh publik serta media. Ketika petinggi studio di tempatnya bekerja, Kinograph Studios, Al Zimmer (John Goodman), ingin merombak semua produksi Kinograph dengan film-film bersuara (talkie), Guy merasa hal tersebut hanyalah sebuah tren semata dan masih berkutat bahwa silent film akan terus berjaya. Guy kemudian keluar dan berusaha untuk memproduksi dan mendanai film bisu nya sendiri, yang malah menjadi awal dari kehancuran karirnya ketika produksi talkie Kinograph Studios ternyata sukses besar dan telah memiliki 'wajah baru' yang tengah bersinar, Peppy Miller (Bérénice Bejo).

Review: If you have been following Award season tahun 2011/2012 ini, pasti tahu, at least pernah mendengar, tentang The Artist. Film ini telah mengantongi begitu banyak penghargaan Best Film di berbagai award dari kritikus-kritikus ternama, hingga yang paling anyar adalah Best Picture (Comedy or Musical) pada ajang Golden Globe Awards hingga Producers Guild Award yang baru saja diumumkan hasilnya kemarin (22 Januari). Saya masih teringat, correct me if I'm wrong, bahwa The Artist adalah satu judul yang menjadi late entry untuk ikut berkompetisi meraih Palme d'Or di Cannes Film Festival 2011 lalu. Sambutan meriah berhamburan ketika film ini premier pada film festival paling prestigious di dunia itu. Walaupun gagal mendapatkan penghargaan tertinggi (kalah dengan Malick's Tree of Life), film yang ditulis dan disutradari oleh sineas Perancis, Michel Hazanavicius ini tidak pulang dengan tangan hampa, setidaknya untuk Jean Dujardin sang aktor utama yang meraih Best Actor. Ketika terdengar kabar bahwa The Weinstein Company (yang tahun lalu dengan suksesnya mengkampanyekan The King's Speech) memiliki hak distribusinya, The Artist tentu saja menjadi komoditi panas yang sudah sejak lama diprediksi mendapatkan award tertinggi di Oscar nanti. The film to beat, if I may add.

The Artist bercerita tentang kisah hidup aktor perfilman Hollywood di akhir dekade 20-an. Masa dimana peralihan antara film-film bisu dan film-film 'bersuara' yang umum disebut "talkie". Dan layaknya sebuah 'evolusi' dan perkembangan zaman pada umumnya, berlaku lah hukum alam; yang kuat yang bertahan. Kalau dalam hal ini, yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman lah yang bisa terus sukses. Malang nasib Guy Valentin memang. Dia menganggap film-film dengan suara hanyalah gimmick yang tidak akan bertahan lama. Ia merasa penonton tidak mau datang berbondong-bondong ke bioskop untuk melihat para aktor 'berbicara'. Seperti yang kita ketahui sekarang, pendapatnya jelas-jelas salah besar. Tapi yah saya yakin sebenernya, gak hanya Guy Valentin saja yang dulu berpikiran kayak gitu, setiap hal baru pasti punya pro dan kontra dibelakangnya. Tapi yang menjadi masalah adalah sang Guy Valentin ini, terlalu 'sombong' dan bersikeras untuk membuktikan bahwa film bisu itu masih bisa bertahan, yang ternyata jadi awal dari kehancuran karirnya. Jadi teringat deh sama seorang kritikus yang benci sama teknologi 3D, ia juga menganggap hal tersebut cuman 'gimmick' dan cuman dibuat untuk mengeruk keuntungan saja. Hehehe hati-hati aja yah om ntar kayak om Guy Valentin lho, terperangkap sama masa lalu :p

Kembali ke masalah The Artist. Selain bercerita tentang Guy Valentin dan karirnya yang lama-lama terpuruk. Muncul pula lah seorang Peppy Miller, bintang baru segar yang secara instant menjadi sensasi ketika 'talkie' mulai menjamur. Hal ini menjadi sebuah gambaran nyata dunia perfilman pada umumnya, heck, it's relevant to any other matter also, a life cycle; there is always going to be new 'stars' to replace the old ones. Jadi bagaimana nasib para aktor-aktor washed up? Be creative, seperti yang ditunjukkan pada ending film ini yang sangat sulit bagi saya (dan mungkin yang sudah menonton) menyunggingkan senyum, spoiler dikit hehe. Cerita The Artist memang simple dan saya akui tidak menampilkan sesuatu yang groundbreaking, The Artist menurut saya memberikan sebuah gambaran nyata tentang dunia perfilman, khususnya Hollywood. Sebagai sebuah film bisu di era modern seperti ini, kemunculan The Artist sepertinya benar-benar seperti sebuah breath of a fresh air. Ironis memang, film yang bercerita tentang perkembangan teknologi dihantarkan dengan sebuah teknik perfilman yang, well, old fashioned seperti ini. Lebih ironis lagi bahwa film bisu yang bercerita tentang perfilman Hollywood (dan bersetting di situ juga) adalah sebuah film produksi Perancis, dengan sutradara dan sebagian besar pemainnya yang juga dari negara tersebut.

Sebagai sebuah film bisu pula, Michel Hazanavicius, selaku penulis dan sutradara film ini, harus bersyukur ia memilki orang-orang seperti Jean Dujardin dan Bérénice Bejo (istri Hazanavicius, fyi) untuk berperan sebagai lead actor dan actress. Penampilan mereka sebagai Guy Valentin dan Peppy Miller, respectively, yang 'hanya' bisa mengekspresikan karakter mereka ke layar lewat mimik wajah dan gerakan, menurut saya telah memberikan penampilan yang begitu baik. Tidak salah kalau Jean Dujardin mendapatkan predikat Best Actor di Cannes lalu. Selain mereka berdua, ada juga beberapa nama yang sepertinya lebih awam di Hollywood, ada John Goodman, James Cromwell serta Malcolm McDowell yang sejujurnya saya rasa perannya terlalu sedikit, jadi saya kurang bisa berkomentar. Selain bantuan dari aktor dan aktris tersebut, film bisu akan terasa 'hampa' tanpa adanya score yang pas untuk menemani film ini. Dalam departemen tersebut, untungnya, di-handle dengan menawan oleh Ludovic Bource. Score yang juga mendapatkan piala Golden Globes untuk Original Score ini di beberapa bagian terasa lively, sebagian lagi klasik dan memorable. Well after all, the score is the part of the script also. Dan saya rasa Bource telah menghasilkan score yang pas dengan setiap adegan-adegannya, membuat saya yang sebenarnya begitu asing dengan film bisu ini bisa dengan sangat asik menikmati The Artist. Dan jangan lupakan Uggy, anjing kesayangan Guy yang sangat menggemaskan!

Overview: A sweet and charming film about the fall of a movie star and the rise of another. Mungkin pada awalnya akan sulit untuk bisa beradaptasi bagi yang masih asing dengan style film bisu seperti ini (saya pun termasuk dalam kategori tersebut), tetapi seiring berjalannnya film, The Artist berhasil menampilkan sejumlah moment-moment yang sangat menyenangkan untuk ditonton. Penampilan Jean Dujardin dengan muka klasik dan senyum lebarnya itu ditemani oleh Bérénice Bejo yang sama-sama karismatik menjadi nilai ekstra film ini. Walaupun menurut saya scriptnya tidak begitu 'wah', tetapi saya suka dengan pesan yang terkandung di dalamnya. Simple dan sangat relevant dengan dunia perfilman yang saya cintai ini #eaaa. The Artist is an absolutely wonderful tribute to silent cinema and filmmaking in general. Definitely cannot be missed. Kapan lagi film bisu dibuat di era modern seperti ini? And a great one at that.

[A-]
The Artist (2011) | Comedy, Romance, Drama | Rated PG-13 for a disturbing image and a crude gesture | Cast: Jean Dujardin, Bérénice Bejo, John Goodman, James Cromwell, Missi Pyle, Penelope Ann Miller, Malcolm McDowell | Written and directed by: Michel Hazanavicius

4 comments:

  1. Kamu nonton dimana? aku nyari link filmnya gak dapet, gara SOPA-PIPA jahat itu :'( bagi linknya dong pliz k-tx-bye

    ReplyDelete
  2. Download pake Torrent, cari aja di thepiratebay.org kalo gak pake torrent, bisa ke ganool.com

    ReplyDelete
  3. wahhhhhh sama fariz sy juga ngasik score segitu...sy gak bakal nyesel kalo The Artist ntar menang oscar, overatted yg memuaskan wkwkwkwkk

    ReplyDelete
  4. Saya juga suka film ini, kebetulan saya ada koleksinya, silahkan kunjungi blog saya :D
    The Artist [ 2011 France BrRip 1080p anoXmous Audio English Subtitle English, Indonesia 1717 MB ]

    http://bioskop21free.blogspot.com/2014/11/the-artist-2011-france-brrip-1080p.html

    Koleksi juga: 500 Film Terbaik Sepanjang Masa

    ReplyDelete