Plot: Frederick Treves (Anthony Hopkins) adalah seorang surgeon di sebuah rumah sakit di London sekitar akhir abad 19. Treves tanpa sengaja menemukan John Merrick (John Hurt), seseorang yang memiliki fisik yang menyeramkan yang diakibatkan oleh cacat ketika lahir. Merrick saat itu menjadi salah satu circus freak dengan julukan 'The Elephant Man' dengan Bytes (Freddie Jones) sebagai sang 'empunya'. Dengan alasan curiosity, Treves membuat kesepakatan dengan Bytes dan membawa Merrick ke rumah sakit untuk diexamine. Hal itu berujung kepada suatu hubungan dimana Treves menyadari bahwa dibalik sosok menyeramkan Merrick ternyata tersembunyi individu yang berbeda dari tampilan fisiknya.
Review: Diangkat dari kisah nyata dari akhir abad 19, film ini diangkat dari buku The Elephant Man and Other Reminiscences yang juga ditulis sendiri oleh Frederick Treves yang asli. Diadaptasi menjadi script oleh David Lynch, Christopher De Vore, and Eric Bergren. David Lynch sendiri duduk di kursi sutradara. Dari film inilah sutradara David Lynch mulai dikenal di dunia perfilman mainstream setelah sebelumya sukses dengan Eraserhead. Film Eraserhead sendiri adalah alasan mengapa produser Mel Brooks menginginkan Lynch untuk menyutradarai film ini. Dibintangi oleh Anthony Hopkins sebagai Treves dan John Hurt sebagai John Merrick, sang Elephant Man. Dua performa yang apik, karena untuk pertama kalinya gw melihat Hopkins bermain tanpa adanya kesan 'Hannibal Lecter' dan John Hurt yang mampu berakting dengan begitu tebal make-upnya. Tapi bukan teknisnya lah membuat gw begitu suka dengan film ini, tapi ceritanya yang sangat bagus.
Inti keseluruhan dari film ini menurut gw cukup klise: inner beauty. Dibalik bentuk fisik John Merrick yang memang out of ordinary, tersimpan pribadi yang sangat pintar, sensitif, dan bisa dong gw bilang SANGAT tegar. Entah bagaimana hidup John Merrick sebelum ditemukan oleh Treves. Diperlakukan seperti binatang, menjadi bahan tontonan dan constantly melihat orang-orang berteriak dan menunjuk2 dirinya ketika mereka melihat wujudnya. No, kita tidak pernah bisa membayangkan bagaimana hidupnya. Menjadi sesuatu yang etik gak sih sebenarnya kalo Treves pada awalnya mengira ia idiot, bahkan memohon bahwa Merrick adalah seorang idiot. Alasannya tentu saja rasa ke-tidak-tega-an Treves terhadap Merrick yang sepertinya menderita baik fisik maupun mental. Oh can I say this once more, this is a true story (walaupun memang didramatisasi sedikit). Padahal kalo ditelaah baik-baik, Merrick juga sama takutnya menghadapi orang-orang di sekitarnya, atau lebih, dibandingkan orang-orang lain yang takut kepadanya.
Apa yang membuat gw, somehow, sangat amat terpengaruh dengan film ini adalah karena pekerjaan Treves yang seorang dokter. Gw, sebagai seorang yang bermimpi untuk menjadi tenaga medis yang insyaAllah bisa berkontribusi dengan sekitar (Amiin), pasti harus mempersiapkan semuanya lahir dan batin. Mulai dari skill, sampai yang namanya hubungan sama pasien. Kasus seperti John Merrick ini bisa dibilang jarang terjadi, tapi yang namanya disability atau deformed atau apapun lah, pasti bakal sering gw temui saat nanti (insyaAllah lagi) berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi dalam pendidikan gw (Amin lagi). John Merrick memang secara kasarnya bisa dibilang sebagai 'monster dan pada kenyataannya masih banyak sebenernya JohnMerrick-JohnMerrick didunia ini, walaupun memang beberapa tidak seekstrim itu. itulah yang sedikit mengusik gw (#eaaa) ketika gw dihadapkan sebagai seorang tenaga medis menghadapi kasus seperti ini.
Yang kemudian diangkat adalah masalah kemanusiaan. Ya, Merrick memiliki cacat yang mungkin sangat menyeramkan (apalagi di era itu), yang menjadi pertanyaan bagaimana kita berkonfrontasi terhadap orang seperti John Merrick. Gw tidak mau menjadi orang yang hipokrit dan menyatakan gw tidak terenyuh dan sedikit errr how to say this, 'takut?' kalo gw di posisi orang-orang yang melihat Merrick. Bukan takut sama fisiknya sih, tapi lebih kepada takut akan reaksi dan gerak-gerik gw di sekitar Merrick. Takut beberapa reaksi gw akan menyinggung perasaan Merrick. Ataupun malah gak kuat hati melihat penderitaan yang ia hadapi. Ketika ia menangis terharu dijamu oleh istri Travers 'I've never been treated this nicely by a beautiful woman' (kurang lebih gitu, lupa dialog pasnya) ucap Merrick. Atau ketika ia berfikir ibunya yang memang cantik (Merrick menyimpan fotonya) pastilah sangat kecewa dengan Merrick, 'Ive tried so hard to be good' ujarnya lagi. Orang yang punya hati pasti hatinya tertohok mendengarkan pernyataan Merrick itu.
Seiring dengan berjalannya film, kita mengetahui kelebihan Merrick yang artsy dan lemah lembut. Merrick pun kemudian menjadi sasaran teman-teman Treves atau kaum socialites untuk sekedar diperkenalkan atau hanya ngobrol-ngobrol saja. Yang kemudian disadari oleh Treves bahwa ia juga hanya menjadi 'pawang' Merrick dan menjadikannya 'performer' kepada teman-temannya, walaupun memang Treves berniat baik dan bahkan Merrick menyukainya. Lalu ketika satu concern yang diajukan oleh salah satu petinggi rumah sakit bahwa Merrick hanya membuang-buang tempat saja tinggal di rumah sakit karena kenyataannya memang penyakitnya uncurable, mengapa Merrick mendapatkan special privilege dimana masih ada pasien yang bisa menggunakan ruangan yang Merrick pakai saat ini.
Hal ini mengingatkan gw dengan salah satu episode Glee, ketika Sue Sylvester 'menyiksa' seorang anak dengan keterbelakangan mental. Ia memberikan argumen yang hmmm cukup masuk akal: mengapa seorang yang 'special' harus diberikan perlakuan khusus ketika yang mereka inginkan adalah hak self-respect yang sama dengan orang-orang 'normal'. Yah walaupun memang harus ada batasnya sih. The Elephant Man menurut gw memberikan kita suatu pertanyaan poignant tentang kemanusiaan. Siapa yang sebenernya pantas disebut 'freak'? Orang dengan cacat fisik seperti Merrick atau orang-orang tak berperasaan yang menganggap Merrick tak lebih seperti binatang ataupun bahan tontonan. Hancur hati gw menonton satu adegan dimana Merrick dipermainkan oleh sang penjaga malam dan teman-temannya.
The Elephant Man entah mengapa mengingatkan gw dengan Schindler's List. Selain efek hitam putihnya, 2 film ini menunjukkan gw tentang gimana manusia biwsa sekejam itu. Dua film ini menampilkan siksaan demi siksaan yang dialami seseorang individu (atau dalam List, kaum Jewish) hanya karena mereka 'berbeda'. Well alasan Nazi itu memang gak masuk di akal sih. Itulah mengapa gw merasa film ini hanya perlu ditonton satu kali untuk bisa mendapatkan wake-up call univeral yang bener-bener 'membangunkan'. Persamaannya lagi adalah bagaimana film ini dibuat dengan sangat artistik. Gw suka banget sama scorenya yang menawan, cinematography yang juga memikat. Penyutradaraan David Lynch serta script engaging yang disusun olehnya, De Vore dan Bergren dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah tontonan yang luar biasa provoking. The Elephant Man adalah salah satu film yang membuat gw bisa lebih menghargai hidup. Very very recommended.
Mantap reviewnya!
ReplyDeleteterima kasih :)
ReplyDeletesaya sudah nonton film ini bertahun2 silam, mgkn sdh 6-7 thn lalu ya.
ReplyDeletedan memang bagus bgt, mgkn ga banyak orang tahu film ini krn ini bkn film romantis atau film action seperti yang disukai banyak orang, tp nilai moralnya yang menyentuh hati.
kalo boleh tau nontonnya mn kak?
DeleteSetuju :) terima kasih commentnya!
ReplyDelete