Tuesday, March 22, 2011

Review: Requiem For A Dream (2000)

Plot: Sara Goldfarb (Ellen Burstyn) adalah seorang yang sudah berumur dan bermimpi ingin tampil di televisi untuk mengikuti sebuah acara kuis. Ketika mimpinya terwujud dan ia terpilih sebagai kandidat peserta kuis tersebut, yang ia inginkan adalah bisa kembali memakai pakaian favorit mendiang suaminya. Apa daya ketika baju tersebut udah gak muat lagi, hingga dimulailah perkenalan Sara dengan diet pills. Sara memiliki seorang anak, Harry (Jared Leto). Bersama dengan pacarnya, Marion (Jennifer Connely), mereka bermimpi untuk membangun sebuah toko baju hasil rancangan Marion. Harry, Marion dan rekannya, Tyrone (Marlon Wayans) adalah drug users dan kadang menjadi dealer untuk mendapatkan keuntungan. Hidup keempat orang ini semakin tidak terkendali ketika kecanduan yang mereka alami semakin lama semakin menghancurkan mereka.

Review: Sebagai seorang sutradara yang bisa dibilang masih 'muda', gw menganggap Darren Aronfosky itu sama level kejeniusannya dengan Christopher Nolan yang (kalau tidak salah) masih bisa dianggap satu angkatan lah. Setelah kembali menggebrak dunia sinema tahun lalu dengan Black Swan, Aronofsky sebelumnya pernah menyutradarai film yang ternyata jauh lebih 'gila' lagi; Requiem For A Dream. Sepertinya harus gw state dari awal ya, RFAD memiliki jalan cerita yang depressing with no happy ending (jelas) disertai dengan adegan-adegan yang sepertinya sangat amat bisa membuat sebagian orang uncomfortable, like drugs consuming, nudity, sexual references dan sedikit gore. Jadi jelas dong kalo gw menyebut RFAD adalah sebuah film yang hanya bisa ditonton oleh orang dewasa. Tetapi dengan semua pesan terpendam dalam film ini (harta karun kali terpendam), menjadi sebuah hal yang ironis sepertinya karena film seperti ini lah yang seharusnya ditonton oleh para remaja untuk kampanye anti narkoba. At least setelah menonton film ini gw berharap gak bakal kena yang namanya barang-barang kayak gitu. Tanpa harus mengonsumsi pun gw malah bisa merasakan kapok.

Back to the film, film yang diadaptasi dari novel rekaan Hubert Selby, Jr dan digubah menjadi naskah olehnya dan sang sutradara, RFAD berdasar pada 'mimpi'. Siapa sih yang tidak pernah bermimpi? Jelas semua orang pasti pernah. Sama halnya dengan keempat karakter dalam film ini, mereka semua bermimpi. Seperti yang gw sebutkan dalam sinopsis, Sara menginginkan tampi di televisi, Harry dan Marion adalah sepasang kekasih yang ingin memiliki bisnis dan hidup mapan, sedangkan Tyrone memiliki mimpi untuk membanggakan ibunya agar terhindar dari hidup susah. Mimpi itu sah-sah aja memang. Tetapi ketika lo melakukan segala cara untuk mendapatkan mimpi lo, itu harus dipikir-pikir lagi. Tokoh Sara menggunakan 'jalan belakang' agar mudah untuk menguruskan badannya. Sedangkan Harry dkk mengonsumsi heroin, selain karena udah kecanduan, juga sebagai pengisi dan 'penenang' hari-hari mereka. Bahkan untuk mendapatkan uang agar mimpi mereka semua tercapai. Sungguh ironis, ketika barang-barang yang mereka maksudkan untuk mempermudah jalan mereka mencapai mimpi tersebut pada akhirnya berujung sebagai alasan utama mereka akan gagal mendapatkannya.

Kalau ingin ditelaah satu persatu, gw paling terkesan (banget) sama cerita Sara Goldfarb. Seorang yang hampir (atau udah) mencapai lansia ini dikisahkan sebagai seorang yang kesepian, suaminya udah meninggal, anaknya juga gak begitu sering ngunjungin dia, kalo ngunjungin pun untuk ngejual TV nya supaya dapet duit buat beli drugs. Mimpinya untuk muncul di acara TV juga dia anggap sebagai sebuah pemacu untuk terus bertahan hidup; "It's a reason to get up in the morning. It's a reason to lose weight, to fit in the red dress. It's a reason to smile. It makes tomorrow all right", begitulah kata-kata dari sebuah monolog heartbreaking yang dibawakan dengan begitu meyakinkan oleh Ellen Burstyn. Pantas saja ia menerima nominasi Oscar untuk perannya dalam film ini, walaupun kalah sama Julia Roberts. Quality-wise sih Burstyn malah jauh lebih bagus padahal. Burstyn bener2 menunjukkan 'kegilaan' yang ia dapat dari kecanduan. Seperti saat ia berhalusinasi hingga membuatnya jadi bener2 kayak orang kehilangan akal sehatnya.

Aronofsky pernah mengatakan dalam deskripsi yang paling pas untuk menggambarkan RFAD, atau dampak adiksi secara general; "..it’s like jumping out of an airplane and midway realizing you forgot your parachute, that’s the beginning. And at the end, you’ve hit the ground five minutes ago and are still taking your last breaths”. Menurut gw itu bener-bener menjelaskan secara gamblang keadaan yang akan dialami oleh para karakter dalam film ini. Darren Aronofsky, sama halnya seperti Nolan, sepertinya lebih nyaman bekerja dengan orang-orang yang familiar. Kru yang ia pakai dalam film ini mostly sama seperti yang ia pakai dalam film debutannya, Pi. Hingga sampai yang terbaru pun, Black Swan, Aronofsky sama-sama menggunakan Matthew Libatique untuk mengurus cinematography-nya lalu Clint Mansell untuk urusan score. Sebenernya selain masalah drugs addiction, banyak yang dibahas oleh RFAD, seperti hubungan ibu-anak antara Sara dan Harry hingga romantisme Harry dan Marion. Sepertinya gak perlu gw jabarkan disini, ditonton aja deh (bilang aja males).

Kalau ingin membicarakan teknisnya, Requiem For A Dream dibuat oleh Aronofsky dengan treatment yang unik. Penggunaan double screen dalam satu adegan (gak tau istilah filmnya apa) sering digunakan dalam film ini, instead of cutting from one scene to another. Atau banyaknya unsur slow motion dan fast motion (aduh gak tau lagi apaan istilah benernya) yang gak jarang pula digunakan bersamaan, sebagai suatu simbolime yang membedakan antara orang yang gak ada terpengaruh obat sama yang iya. Ada satu istilah yang disebut hip-hop montage dalam film ini, yaitu kayak sejumlah gambar dan scene yang ditunjukkan sekelebat dan dipakai ketika karakter-karakter tersebut sedang mengonsumsi drugs, yang kayak jadi jembatan waktu sebelum dan sesudah mereka 'make'. Dan tentu saja salah satu yang paling berkesan dari film ini adalah score yang sangat menawan. The acclaimed score hasil karya Clint Mansell ini hingga saat ini sering dipake buat trailer-trailer film, bahkan di-remix ulang specially buat Lord of the Rings. Salah satunya yang terkenal adalah track Lux Aeterna yang benar-benar menghipnotis dan haunting. Pas banget dipake untuk ending film ini serta scene-scene lain yang gak kalah menegangkan.

Membicarakan film ini juga kayaknya gak afdol kalo gak ngomongin ending nya juga. Sebagai ending yang katanya sih salah satu ending paling intense yang pernah ada (mulai lebay), ending RFAD menghadirkan sebuah montage dimana kita bisa ngeliat dampak dari semua kecanduan mereka. Oke, disini mulai SPOILER ya. Keempat karakter merasakan penderitaan yang sungguh tidak terbayangkan (terlihat dari permainan akting yang superb dari semua aktor), apakah itu pain maupun humiliation. Sara yang akhirnya malah masuk RSJ diikuti dengan teman-temannya yang menyesali saran mereka; Harry yang harus menerima tangannya diamputasi; Marion yang karena kecanduannya rela menjadi bahan 'mainan' di sebuah orgy; hingga Tyrone yang terbaring menahan sakitnya di penjara. Semua diakhiri dengan keempat karakter membentuk posisi fetal (seperti bayi dalam kandungan). Entah apakah artinya. Apakah mereka seperti 'terlahir kembali' karena telah menyadari apa yang mereka perbuat? Ketika gw sampe di menit-menit terakhir film ini ada satu hal yang ada di pikiran gw: please God, please, jangan sampe gw ngerasain yang namanya narkoba, kecanduan dan teman-temannya. Tapi sebenernya menurut gw sih film ini gak hanya memacu pada drugs addiction juga sih, cuman metafora untuk semua possible addiction dan apa dampak dari adiksi dan terlalu obsesi pada suatu hal. Kalo adiksi sama nonton gimana ya? Hahaha

Rasanya, walaupun agak lebay, gak pernah ada film se-depressing ini yang pernah gw tonton. Sama-sama bertemakan drugs, sayangnya gw belom pernah nntn Trainspotting nya Danny Boyle. Requiem For A Dream is definitely and absolutely not for the faint of heart, not for everyone. Tetapi ketika gw menonton habis film ini dengan ending yang luar biasa errrr.. undescribable itu, sungguh di dalem hati gw pengen gw tunjukin ke semua orang, pengen biar semua temen-temen gw tau, hanya untuk mengatakan; that's what you get when you have drugs addiction. Requiem For A Dream may be harsh and brutal, tetapi film ini honest. Penampilan mengagumkan dari Ellen Burstyn yang sampai saat ini tidak bisa gw lupain, didukung oleh Jared Leto, Jennifer Connely yang berani, Marlon Wayans yang sama-sama gila, membuat film ini semakin tidak waras. Ooh don't get me started with that beautiful beautiful score. In short, Requiem For A Dream memberikan sebuah penjabaran kecanduan yang akan terus tertanam di otak gw. Dan di saat yang bersamaan pula, Aronofsky menghasilkan tontonan yang unik, 'stylish', jujur dan depressing. Sungguh sebuah pengalaman menonton yang luar biasa.

(*****)
Requiem For A Dream (2000) | Drama | Rated: NC-17 | Cast: Ellen Burstyn, Jared Leto, Jennifer Connelly, Marlon Wayans, Christopher McDonald, Mark Margolis, Louise Lasser, Marcia Jean Kurtz, Sean Gullette, Keith David | Written by: Hubert Selby, Jr (novel) and Darren Aronofsky | Directed by: Darren Aronofsky

6 comments:

  1. wah sumpah dari dulu pengen nonton ga kesampean. di library juga ga ada, entah apa karena dianggap ga patut ditonton atau engga.

    very, very great review.

    ReplyDelete
  2. mungkin gara2 ratingnya ya, aronofsky gak mau ngerubah rating, jadinya dibiarin aja nc-17 dan dirilis unrated. setelah di edit pun tetep R haha tapi menurut saya film ini sangat patut ditonton

    thank you :)

    ReplyDelete
  3. Yap, filmnya hyper brilian. Sampe-sampe karena terlalu brilianya justru bikin ane merinding disko. Banyak sekali adegan "mengganggu" difilm ini... yang paling parah menurut ane adalah semua adegan yang melibatkan ibunya harry (Sara) pas lagi terkena efek obat bius, parah bener dah! liat mukanya horror banget(most disturbing scene in this movie) ane sampe ngedumel di dlm hati pokoknya nggak mau lagi nonton film ini hahaaaa...

    Anyway, premis film ini oke banget! bagaimana berbahayanya narkoba bagi hidup manusia.

    ReplyDelete
  4. setelah baca ulasan film ini, jd pengen nntn. gue uda lama ada film ini cuma belum sempat nntn (karena gw mengutamakan film2 baru) hehehe xD

    ReplyDelete
  5. well kata gw film ini sukses nenbuat hati gw menjerit...
    scne2 akhir dalam hati bolak-balik bicara "sampe kapan ini berakhir?"

    ReplyDelete
  6. Kalo dibandingin Transpotting, jauh lebih "ngena" Requiem For A Dream, IMO. Btw, review yg keren bro!

    ReplyDelete