Plot: Russia, tahun 1847. Anna Karenina (Keira Knightley) dan suaminya Alexi Karenin (Jude Law) memilki kehidupan yang hampir sempurna dengan harta dan status yang dihormati. Hingga saat Anna tergoda oleh Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson) yang membawanya kepada sebuah skandal perselingkuhan.
Review: Ada sebuah lelucon yang mengatakan bahwa Keira Knightley hanya tertarik dengan film-film period pieces. Setelah trilogi Pirates of the Caribbean melambungkan namanya, Knightley memang cukup banyak juga bermain dalam film-film yang settingnya di era modern. Tapi Pride and Prejudice (2005), Atonement (2007), The Duchess (2008) hingga A Dangerous Method (2011) adalah film-filmnya yang paling dikenal setelah seri Pirates, dan semuanya memiliki setting berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kembali bekerja sama dengan sineas Pride and Prejudice dan Atonement, Joe Wright, Knightley hadir kembali sebagai titular character dari adaptasi salah satu novel paling tersohor di dunia; Anna Karenina. Disadur dari novel kenamaan karya penulis asal Russia Leo Tolstoy, yang pertama kali dirilis tahun 1877, Anna Karenina bercerita tentang seorang sosialita bernama Anna Karenina (Keira Knightley) yang telah menikah dengan seorang bangsawan terhormat di St. Petesburg, Alexi Karenin (Jude Law). Mereka bahkan telah memiliki anak bernama Serozha (dangdut-dangdut ya nama-namanya :p). Masalah pertama muncul ketika kakak Anna, Oblonsky (Matthew Macfadyen) berselingkuh dan terancam ditinggalkan oleh sang istri, Dolly (Kelly Macdonald). Anna diminta oleh Oblonsky untuk membujuk Dolly agar memaafkannya. Cerita menjadi ironis ketika sesampainya disana, Anna bertemu dengan Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson). Lewat beberapa pertemuan dan sedikit flirting, mereka berdua pun terlibat dalam sebuah affair yang akan menjadi ancaman terhadap kehidupan glamour dan juga status sosial Anna.
Dengan penuh keyakinan, saya berani bilang bahwa Anna Karenina mungkin salah satu film dengan teknis penyutradaraan yang begitu bold tahun lalu. I'm not sure if this technique is already done before, but hell, it's still gorgeous. Joe Wright akan membawa kita ke sebuah 'panggung sandiwara'. Literally, panggung sandiwara. Wright menggunakan sebuah panggung utama untuk menjadi set hampir setiap adegan, yet it never felt contrived. Bagi saya film ini berhasil membawakan atmosfir menonton opera di panggung dan menerjemahkannya dalam bahasa perfilman. Saya suka dengan bagaimana Wright dan tim mengefektifkan penggunaan setting panggung minimalis dengan detail yang cantik serta perpindahan blocking yang halus. Coba lihat bagaimana panggung tersebut diubah menjadi sebuah arena perlombaan kuda. Oooh marvelous. Atau ketika panggung disulap menjadi sebuah stasiun kereta. Dan bagaimana bagian atas panggung menjadi setting masyarakat working class. Atau ketika outside setting menandakan bahwa kita keluar dari hiruk pikuk kehidupan bangsawan Russia. Maafkan ke-lebay-an saya, tetapi bagi saya hal-hal tersebut begitu kreatif. Not to mention the dancing sequences (or is it ballet? don't know the difference) which presented beautifully like a poetry. Dengan desain produksi yang begitu elegan, rasanya 4 nominasi Oscar untuk Production Design, Costume Design oleh Jacqueline Durran, Score oleh Dario Marianelli serta Cinematography oleh Seamus McGarvey adalah hal yang tak perlu lagi menjadi pertanyaan. But then again, we can't have everything, can we? We're not living in a perfect world.
That leads us to its share of negative points. Sayangnya dengan begitu inovatifnya penyutradaraan Joe Wright, naskah yang ditulis oleh Tom Stoppard tak sebanding value-nya. Stoppard sepertinya agak kurang fokus menulis naskah ini, membuat beberapa bagian menjadi kurang jelas. Kisah cinta segitiga Anna-Karenin-Vronsky tidak dibalut dengan baik, membuat saya tidak begitu peduli dengan karakter-karakter tersebut. Disini Stoppard rasanya menyia-nyiakan cerita epik Tolstoy tentang kehidupan elit sosialita Russia ini yang penuh dengan kecemburuan, perselingkuhan, cinta, nafsu, gosip (lol), strata dan masalah sosial lainnya. Cerita cinta segitiga utama tersebut juga rasanya meng-overshadow cerita lainnya, tentang hubungan Konstantin Levin (Domhnall Gleeson), teman Oblonsky dengan adik ipar Oblonsky, Kitty (Alicia Vikander). Hubungan manis dan dewasa dari Levin dan Kitty ini padahal bisa menjadi penyeimbang karakter Karenina dan Vronsky. Ditambah lagi dengan kurangnya chemistry antara para pemain. Not for once I was convinced with Anna and Vronsky. Heck, bahkan saya tidak menyadari Anna dan Alexi memiliki masalah keintiman. Knightley sebagai Anna bermain kurang konsisten. Some parts were good, others were just too much. Aaron Taylor yang sebelumnya saya kenal sebagai pahlawan bertopeng Kick-Ass ini bermain terlalu datar sebagai Vronsky. Jude Law yang memerankan Karenin mungkin bermain oke, but not great. Sementara itu tak ada yang begitu mencuri perhatian di bagian supporting. Sungguh disayangkan.
Overview: At the end of the day, saya harus mengakui bahwa adaptasi teranyar Anna Karenina ini termasuk film yang 'style over substance'. Keberanian Joe Wright menyutradarai film adaptasi dengan teknik yang unik dibalut dengan detail kostum, art direction hingga musik yang indah tidak dibarengi juga oleh naskah yang baik. Kurang fokus. Pemain-pemainnya juga tidak berakting jelek, hanya saja, tidak mencapai ekspektasi. There's little chemistry, no flow of the story. Thus, no care is given. Tetapi saya juga tak bisa mengelak bahwa saya benar-benar dibuat kagum dengan sisi teknikal film ini, yang secara individu bisa saya berikan nilai sempurna. Sangat sangat disayangkan sih, such a waste. But if the wrapping was *this* good, sometimes I, myself, would forgive the sour taste of the candy. And that's what happened with Anna Karenina.
Anna Karenina (2012) | United Kingdom | Drama | Cast: Keira Knightley, Jude Law, Aaron Taylor-Johnson, Kelly Macdonald, Matthew Macfadyen, Domhnall Gleeson, Ruth Wilson, Alicia Vikander, Olivia Williams, Michelle Dockery, Emily Watson | Screenplay by: Tom Stoppard | Directed by: Joe Wright
No comments:
Post a Comment