Plot: Sebuah dokumenter yang menyingkap 'praktek' pemerkosaan atau sexual harrasment yang telah bertahun-tahun terjadi (dan ditutupi) di dalam kemiliteran Amerika Serikat.
Review: Rape is the occupational hazard of military service. Begitu kira-kira salah satu jawaban dari pengadilan ketika sekelompok wanita (dan beberapa pria) veteran militer hendak mencari keadilan terhadap apa yang menimpa mereka. Kirby Dick, yang sebelumnya menelurkan dokumenter seperti Twist of Faith (2004) hingga This Film is not yet Rated (2006), kini bermaksud untuk membuka rahasia kelam dibalik image kokoh dan tangguh yang selama ini dijunjung oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat. Lewat The Invisible War, Dick mengundang beberapa army veterans untuk memberikan testimoni tentang pemerkosaan yang mereka alami ketika masih berada di bawah naungan militer. Sebagian besar film diisi oleh hasil wawancara mengenai kisah mengenaskan tersebut langsung dari mulut para korban. Tak hanya dari korban pula, tetapi juga dari beberapa jurnalis, psikater, hingga anggota dari Department of Defence dan petinggi militer lainnya turut memberikan opini mereka. Hal yang begitu mengusik saya lebih dari pemerkosaan tersebut (as if it's not already horrible enough) adalah bagaimana pemerkosaan-pemerkosaan itu tidak pernah dibawa ke pengadilan. Bahkan wanita-wanita yang melapor tidak jarang malah dijadikan tersangka dengan tuduhan penipuan atau pun perzinahan, bahkan terkadang diancam dengan penurunan ranking dan kehilangan beasiswa.
Dari data-data statistik yang ditampilkan dalam film ini tak lebih dari 8% saja pelaku yang kemudian dibawa ke meja hijau dari belasan ribu kasus yang dilaporkan setiap tahunnya. Hal ini besar kemungkinannya dikarenakan oleh sistem penuntutan dalam militer AS masih dipegang oleh commander masing-masing unit; yang pastinya akan menjadi bias, wong mereka atau teman dari commander itu sendiri pelakunya. Ditambah lagi dengan penanganan kasus yang intentionally sloppy dan jelas sekali tidak transparannya; seringkali bukti-bukti visum hilang begitu saja di tangan para prosecutor. Lucunya lagi adalah petinggi-petinggi militer yang diwawancarai tersebut banyak yang memiliki pernyataan yang kontradiktif dari statistik. Mengingat pula hal ini bukanlah hal baru, tetapi bertahun-tahun tidak ada tindakan signifikan dari pemerintah maupun militer untuk mencegah pemerkosaan terjadi. It's like a paradise for a serial rapist. Dengan menghadirkan belasan wawancara dari veteran-veteran militer yang begitu berani untuk mengungkapkan kisahnya tersebut, Dick memfokuskan dokumenter ini ke beberapa cerita veteran; salah satunya adalah Kori Cioca yang kini tengah berusaha untuk mendapatkan kompensasi untuk melakukan operasi rahang akibat perkosaan brutal oleh atasannya nya dulu, atau Trina McDonald yang mengalami post-traumatic stress disorder yang membuatnya menjadi alkoholik dan homeless. Agak disayangkan sih segmen-segmen tentang cerita mereka kadang terkesan sedikit manipulatif.
Bukannya saya menentang film ini dan tidak sempati terhadap korban (hell, no), tetapi sebenarnya lebih baik Dick juga lebih fokus lagi tentang usaha para korban untuk membawa kasus mereka ke pengadilan. Dan walaupun Searching for Sugarman adalah salah satu film favorit saya dan jagoan saya untuk meraih piala Oscar untuk Dokumenter nanti, saya tidak akan complaint kalau Invisible War yang menang, karena isu yang diangkat film ini lebih urgent dan alangkah baiknya bisa lebih di-ekspos ke publik yang lebih luas. Menyaksikan film ini memang menjadi sebuah eye-opener yang ironis. Di awal film, kita akan disuguhkan testimoni yang menyatakan bahwa mereka (para korban) begitu bangga bisa masuk ke dalam dunia militer, tak sedikit juga yang memang lahir dari keluarga militer. Bahkan ada pula yang menginginkan untuk mengulang pengalaman boot camp nya yang telah melatih kedisiplinan dan ketangguhannya. Sayangnya setelah keluar, mereka malah tidak ingin menyarankan anak-anak mereka untuk masuk ke dalam angkatan bersenjata dan meminta para gadis yang ingin mendaftarkan diri untuk berfikir kembali dan memilih kuliah saja. Ya, memang ironis mengingat salah satu hal yang dilontarkan seorang narasumber disini; hal terburuk dari peristiwa ini adalah bagaimana gadis-gadis muda naif yang dengan semangat 45 berniat untuk mengharumkan bangsa dan menyerahkan jiwa dan raga harus diperlakukan tak lebih dari sebuah 'piece of meat' semata.
Overview: Sejuta salut saya akan berikan kepada para wanita dan pria yang dengan begitu beraninya menceritakan kembali sejarah kelam dalam hidup mereka. Hal yang menurut saya akan begitu sulit, apalagi ketika tidak bisa merasakan keadilan. Sebagai sebuah film dokumenter, The Invisible War dapat memberikan sebuah informasi yang begitu memprihatinkan tetapi justru sangat relevan untuk diangkat. Kirby Dick merangkai interviewnya dengan baik, dan sukses dengan tujuannya meraih simpati, walaupun dalam naratifnya agak sedikit kurang engaging. Tapi jelas The Invisible War mungkin menjadi salah satu film dokumenter yang penting untuk ditonton publik dan pemerintah Amerika sekarang.
The Invisible War (2012) | United States | 97 minutes | Documentary, Crime, Drama, History | Featuring: Amy Ziering, Kirby Dick, Kori Cioca, Jessica Hinves, Robin Lynne Lafayette, Ariana Klay, Trina McDonald, Elle Helmer, Hannah Sewell | Written and directed by: Kirby Dick
No comments:
Post a Comment