Plot: Mark O'Brien (John Hawkes), penderita polio sejak kecil yang membuatnya lumpuh dari leher ke bawah berencana untuk menanggalkan status perjakanya dengan bantuan seorang sex surrogate, Cheryl Cohen-Greene (Helen Hunt).
Review: Diangkat dari kisah nyata, The Sessions bercerita tentang Mark O'Brien yang umurnya sudah hampir mencapai kepala 4 tetapi dirinya masih perjaka. So like any man his age (or younger), he's planning to lose his virginity. Dan percayalah, anda tidak membaca premis The 40 Year Old Virgin. Ketika dirinya masih kecil, Mark terkena penyakit polio, yang mengakibatkan dirinya lumpuh dari leher ke bawah. Mark bahkan perlu bantuan sebuah ventilator untuk bernafas (iron lung). Walaupun lumpuh, Mark ternyata masih memiliki kemampuan untuk ereksi dan ejakulasi. Sebagai seorang poet dan penulis yang sudah lumayan established, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan hubungan seksual, Mark akhirnya merekrut seorang sex surrogate bernama Cheryl Cohen-Greene untuk membantunya menanggalkan status perjakanya tersebut. Some of you might wonder, apa itu sex surrogate? Dia adalah seseorang yang membantu orang-orang yang memiliki masalah dalam hal seksualitas, entah masalah keintiman, percaya diri, hingga masalah-masalah fisiologis seperti erectile dysfunction atau ejakulasi dini. Err, I feel like dr. Boyke now. Seorang sex surrogate tak hanya bisa 'dipakai' sebagai partner komunikasi atau therapist, tetapi juga sebagai sex partner. Lho apa ya bedanya dengan wanita tuna susila? Entahlah, beda prinsip mungkin. Yaah ternyata profesi ini sudah lumayan diakui di Amerika sana, disini gimana ya? Langsung digusur FPI mungkin.
Seks dalam film-film Hollywood biasanya digambarkan dengan libido anak muda yang tinggi, ikut pesta serta minum dan tidur dengan siapa saja dan (kadang) dimana saja. Seks tentu bukanlah barang baru di film-film Hollywood, tetapi sepertinya masih jarang ada film yang menggambarkan seks sebagai sebuah kebutuhan manusia tanpa menjadi vulgar atau nafsu belaka. John Hawkes memerankan karakter Mark O'Brien yang sepanjang film harus berbaring di atas tempat tidur dan hanya bisa menggerakan kepalanya saja. Ia sempat memiliki perasaan terhadap salah satu caretaker-nya, Amanda (Annika Marks) yang tertarik dengan pribadi Mark yang light dan celotehannya yang terkadang konyol. Sayangnya, cinta Mark pupus dan hal tersebut men-trigger-nya untuk menghubungi terapisnya dan berujung pada perkenalannya dengan Cheryl. Salut saya berikan kepada John Hawkes yang setelah tampil garang di film-filmnya sebelumnya (Martha Marcy May Marlene, Winter's Bone, bahkan Lincoln), Hawkes memberikan penampilan yang sangat berbeda disini. And he nailed it with his charms. Kalau Hawkes berhasil memberikan kharisma terhadap kenaifan dan keluguan karakternya, Helen Hunt yang menjadi sang sex surrogate tampil lebih berani. Hunt sebagai Cheryl dengan pede-nya melepas pakaian hingga dirinya benar-benar tak tertutupi benang sekalipun. And she did it almost in all of her screentime. Mungkin itu menjadi salah satu bahan pertimbangan mengapa Hunt pantas mendapat nominasi Oscar untuk film ini. Tapi dengan confident dan honest intention yang jelas dipancarkan oleh Hunt dan karakternya, adegan-adegan telanjang tersebut rasanya tidak hanya menjadi tempelan saja. Bahkan mungkin menjadi esensial terhadal komunikasi dan kontak terhadap dua orang karakter ini.
The Sessions adalah salah satu film 'lulusan' festival film Sundance tahun lalu yang sebelumnya berjudul The Surrogate. Film ini diangkat dari sebuah artikel yang ditulis sendiri oleh Mark O'Brien asli. Mungkin alasan penggantian judul adalah juga karena Mark tidak hanya berkonsultasi dengan sex surrogate, tapi ia juga berkonsultasi dengan seorang priest, Father Brendan (William H. Macy). Disinilah saya menemukan suatu kontras dengan aktifitas Mark bersama Cheryl. Father Brendan, sama seperti saya, awalnya berfikir apa bedanya sex surrogate dengan prostitute? Ia awalnya agak ragu untuk on board dalam keputusan Mark saat itu. Being a priest himself, sepertinya ia kurang begitu sependapat dengan hubungan seks di luar nikah. Tetapi bagaimana ia bisa melarang mentah-mentah keinginan Mark? The Sessions ini memang kalau dibuat secara asal-asalan akan menjadi murahan dan tentunya dapat menjadi film yang kontroversial. Tak hanya berbicara seks, tetapi juga sex in disabled persons (disinggung juga dalam film Rust and Bone tahun lalu). Tak hanya berbicara tentang seks sebagai kebutuhan emosional seorang manusia, tetapi seks di mata agama. Memang penulis dan sutradara Ben Lewin sepertinya sengaja tidak ingin benar-benar menjatuhkan film ini lebih dalam untuk mengeksplor tema-tema tersebut. Lewin juga tidak berpihak dan menjatuhkan judgment pada setiap karakter. Semua dibuatnya mengalir begitu saja. Setidaknya dengan materi yang diangkat, Ben Lewin telah berhasil mempoles film ini menjadi film yang encouraging, hangat dan menjadi sebuah studi karakter yang baik tentang hubungan manusia dan kebutuhan serta keinginannya.
Overview: The Sessions tackles some very serious and potentially offensive subject matters, but fortunately, writer/director Ben Lewin served it in a tender and delicate way. The Sessions mungkin akan menjadi film yang terlihat terlalu berani dan vulgar terhadap isu seks, dan mungkin akan membuat beberapa penonton uncomfortable saking straight-forward-nya film ini. Tetapi dengan karakterisasi yang baik dibantu dengan akting yang juga mumpuni, The Sessions menjadi sebuah film yang hangat, open-minded, sometimes funny dan encouraging, well at least for me. But despite all of that, The Sessions is first and foremost, a film about a man wanting a liberty of his own body and to have that privilege all human beings crave; to love and to be loved in return.
The Sessions (2012) | United States | Drama, Romance | Rated R for strong sexuality including graphic nudity and frank dialogue | Cast: John Hawkes, Helen Hunt, William H. Macy, Moon Bloodgood, Annika Marks, W. Earl Brown, Blake Lindsley, Adam Arkin | Written and Directed by: Ben Lewin
No comments:
Post a Comment