Thursday, April 16, 2009

"We're not supposed to be friends, you and me. We're meant to be enemies"

Entah kenapa kebetulan2 sering bgt kejadian. Temen gw, Dito, beberapa hari yg lalu nge post tentang film ini di salah satu post nya. Kebetulan, gw punya DVD nya dan gw blom tonton, kebetulan lagi sehari abis gw baca post nya, salah satu temen sekelas gw bawa novel nya. Nah gw semakin tertarik lah buat nonton film ini. Kebetulan juga gw lagi suka sama film2 tentang Holocaust, setelah gw nonton Schindler's List dan The Reader.

Awal nya gw bingung, mau baca novel nya dulu atau nonton? Karena kebetulan temen gw belom baca juga, jadi ga bisa gw pulang dan minggu depan libur UAN, jadi gw terpaksa baca novel nya dulu. First of all, the novel is entirely moving. I couldn't even put down the book when I was reading it. Gw suka banget sama cerita nya. Walaupun ga terlalu panjang, dan gw emang ngerasa terlalu singkat, tapi udah cukup bagus.

Nah film nya sendiri yang baru dirilis taun lalu, judulnya sama ama novelnya yang dibuat sangat menyentuh oleh John Boyle, The Boy In The Striped Pyjamas (2008) *kalo di Amerika ejaannya Pajamas*. Film ini bercerita mengenai Bruno (Asa Butterfield), anak berumur 8 taun. Bruno kebetulan adalah anak seorang jendral (or something) Nazi dan jadi orang terpandang di Berlin masa PD II. Dikarenakan Ayah Bruno (David Thewlis) dipromosiin jadi Komandan, Bruno, ayahnya, Ibu nya, Elsa (Vera Farmiga) dan kakak nya Gretel (Amber Beattie) terpaksa pindah dari rumahnya di Berlin ke suatu tempat yang bernama 'Out-With'. Jelas, Bruno gak terima dengan kepindahan ini, karena Bruno udah ngerasa asik sama rumahnya yang lama.

Rumahnya yang baru ini sama sekali out of nowhere. Gak ada rumah2 lain, atau pun toko2, yang sama seperti tempat tinggalnya dulu. Yang ada hanyalah satu wilayah yang dikelilingi pager gede (which turned out to be Concentration Camp) dengan beberapa orang berpiyama garis2 (well Bruno didn't know those are the Jews, he's only 8). Waktu asik nge eksplor wilayah rumahnya, Bruno tanpa sengaja sampe di daerah pager itu, disana, dia bertemu dan berkenalan sama seorang anak laki2 yang juga memakai piyama ber garis2, Shmuel (Jack Scanlon). Dari situ, ia menjalin persahabatan unik dengan Shmuel serta mengetahui beberapa fakta tentang Jews dan kehidupan mereka di Camp tersebut, tapi dengan sudut pandang polos Bruno.

Karena gw baca novel nya dulu baru nonton, jujur gw agak kecewa sama filmnya. Film produksi Inggris ini gak jelek2 banget sih, cuman kalo dibandingin sama novelnya kayaknya kurang kuat kualitasnya (yaiyalah, kayaknya gak pernah ada adaptasi novel yang sempurna kecuali LOTR). Banyak dari beberapa adegan atau unsur2 film nya yang beda sama di novelnya. Bahkan ada yang di tambah2in. *SPOILER* Sayangnya ending nya yang sebenernya bikin nyesek, mengharukan dan gw yakin salah satu ending paling unhappy dari sebuah cerita ini ga diganti, padahal gw pengen diganti jadi nya ada sedikit rasa relieved setelah nonton.

Beberapa hal yang mungkin berbeda adalah persahabatan antara Bruno dan Shmuel terasa kurang begitu erat dan mereka ga terlalu attached to each other. Aneh aja rasanya di film keliatannya terlalu cepet aja mereka akrabnya, kalo di novel rasanya kayak ada tahap2annya. Terus juga, di novel nya, sikap Gretel terasa lebih annoying dan sering mengganggu adiknya.

Tapi gak bisa gitu juga sih, gw harus nih ngeliat film ini dengan objektif. Dengan sutradara Mark Herman, sebagai sebuah film tanpa melihat novelnya, film ini cukup bagus. Not really awesome and touching, but kinda recommended. Shot2 nya lumayan bagus dengan akting yang standard. I will always potray David Thewlis as Prof. Remus Lupin from Harry Potter. Sedangkan akting kedua anak itu, Bruno dan Shmuel, serta Vera Farmiga yang jadi ibu nya udah cukup bagus sih menurut gw.

Walaupun banyak beda antara film dan novelnya, cerita nya tetep bagus. Kalo gw ga baca novelnya, mungkin gw akan lebih suka sama film ini. Bukannya jelek, tapi lagi2 karena ada referensi awal yang udah ngebuat gw punya bayangan akan seperti apa adegan2 di novel nya divisualisasikan, jadinya pas ngeliat hasil nya jadi agak sedikit kecewa, yah kok gini ya?

In conclusion: nonton dulu aja deh baru baca novelnya, supaya ga terlalu nyesel. Walaupun gitu, kedua nya memiliki salah satu cerita terbaik yang pernah gw baca/tonton. Nice little British movie. Worth to watch? For now, I can't really decide..

Rating: 6.5/10

2 comments:

  1. sampai sekarang aku belum pernah ketemu film yang sempurna mengadaptasi novel termasuk trilogi LoTR. Coba baca ulang dan tonton buku dan filmnya, pasti banyak ketemu hal yang ditambah dan dikurangi.
    Salah satunya yg bikin fans JRR Tolkien jadi protes adalah tokoh Faramir yg dibikin berkarakter negatif, lemah, gampang terpengaruh, dll.

    Kalau aku sih selalu melihat dua sisi yg berbeda jk menonton dan membaca film dan buku yg jadi adaptasinya. Contoh saja, novel Forrest Gump dan adaptasi film nya sangat berbeda, tapi keduanya bisa dinikmati dengan pola pandang yg berbeda.

    btw, aku blm baca bukunya tp udah nonton film ini. Ntar dicari deh bukunya. O iya, ini bukunya fiksi atau semi autobiografi?

    ReplyDelete
  2. iya sih emang lotr ada cukup banyak perubahan tapi mungkin sama seperti kasus yg mas yusahrizal bilang di forrest gump (saya belom baca bukunya), kalo 2-2nya sama2 bisa dinikmati dengan baik hehehe

    buku nya fiksi mas

    ReplyDelete